Ansyaad Mbai : Terorisme itu Anak Kandung Radikalisme

Back in 2011, pernah dapet kerjaan suruh gantiin Pak Bos menghadiri acara FGD Tentang Deradikalisasi, kelar acara disuruh buat Features tulisan tentang acara itu, me personally like this one..so me want to share the article here...


Ansyaad Mbai : Terorisme itu Anak Kandung Radikalisme


Bogor, Info Publik Terorisme itu anak kandung radikal, dan radikal adalah ibu kandung dari terorisme, satu pernyataan tegas yang dilontarkan oleh Irjen Pol (P) Ansyaad Mbai dalam kalimat pembukanya saat menjadi nara sumber di FGD Deradikalisasi yang diselenggarakan oleh Kominfo pada Kamis (9/6) di Hotel Salak Bogor.

Mengangkat masalah radikalisme Mbai menuturkan banyak yang mengatakan jika radikalisme itu adalah barang impor, hal itu di setujui oleh Mbai dengan penekanan tambahan terhadap eksistensi dari home grown radicalism, yaitu radikalisme yang tumbuh didalam, salah satunya adalah NII yang sedang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini.

Kepala BPNT ini menjelaskan bahwa radikalisme yang dikatakan impor itu bersumber pada tiga hal yaitu wahabisme, salafisme dan ikhwanul muslimin terlepas dari kaitannya dengan partai-partai yang mungkin menggunakan paham-paham tersebut didalamnya.  
"ibu kandung dari terorisme adalah radikalisme - Ansyaad Mbai"
Keberadaan ketiga paham tersebut sebagai cikal bakal radikalisme masih di perdebatkan hingga saat ini, bahkan di Saudi Arabia sendiri berkembang istilah bagi satu golongan yang masuk kedalam kategori radikalisme, yaitu golongan takfiria, yaitu golongan yang mengkafir-kafirkan orang. Motif golongan seperti ini yang banyak berkembang dikalangan teroris yang ada di Indonesia.

“Untuk penanganan terorisme itu strategi dasar kita harusnya adalah deradikalisasi, mengingat ibu kandung dari terorisme adalah radikalisme,” ujar Mbaai lebih lanjut.

Maraknya Kembali Terorisme di Indonesia

Terorisme sebagai salah satu bentuk radikalisme di Indonesia kembali marak sekitar awal tahun 2000-an, dimana terjadi beberapa peristiwa peledakan bom oleh para teroris.

Peristiwa peledakan bom terjadi beruntun di Indonesia sejak awal tahun 2000-an, mulai dari bom bali 1, Bom Bali 2, Bom Kedubes Australia, Bom JW Marriot dimana para pelaku bom tersebut berasal dari kelompok yang sama. Para pelaku berhasil ditangkap, bahkan beberapa dihukum mati. Awal 2005 hingga 2008 bangsa Indonesia sedikit tenang dari permasalahan tersebut.

“Melihat kondisi yang mereda, saya berani mengatakan kepada masyarakat internasional bahwa radikalisme bisa ditanggani melalui jalur hukum yang baik, tidak sampai perang seperti yang terjadi di timur tengah,” ujar Mbai.
“Namun tahun 2009 terjadi lagi peristiwa bom, hal ini menyadarkan saya bahwa cara-cara fisik bukan jawaban yang tepat untuk deradikalisasi walaupun hal itu harus dilakukan, mengingat deradikalisasi itu sendiri tidak akan berjalan tanpa adanya tindakan kohersif,” lanjut Mbaai.

Menanggapi masalah terorisme, Kepala BNPT menuturkan bahwa tokoh-tokah agama juga mengatakan semua itu tidak hanya bisa melalui moral force saja, hal itu tidak akan efektif tanpa adanya law enforcement. “Jangan hanya menggantang asap saja. Permasalahan psikologis dalam kelompok radikal ini adalah selalu menganggap remeh para kyai dan tokoh agama yang ada di Indonesia,” ujar Mbai lebih lanjut.

Ini bukan situasi yang sederhana, mereka tidak bisa dianggap hanya seperti anak-anak nakal yang perlu untuk diceramahi, kaum radikalis ini sangat militan. Perlu dicari substansi apa yang perlu dikemas untuk dijadikan pesan bagi masyarakat umum supaya tidak terpengaruh oleh radikalisme.

Keberadaan Pancasila dan Radikalisme

Ada sesuatu yang mulai hilang dibangsa ini, yaitu pancasila sebagai dasar negara. Dasar negara yang nilai-nilanya sudah mulai banyak ditinggalkan oleh masyarakat. Perlu dilakukan revitalisasi terkait nilai-nilai tersebut.

"Ada sesuatu yang mulai hilang dibangsa ini, yaitu pancasila sebagai dasar negara - Ansyaad Mbai"

“Bukan membangkitkan P4 gaya orde baru, namun membangkitkan nilai pancasila yang ada dan melakukan penyesuaian dengan kondisi yang ada,” papar Mbai.

“Kita harus mulai berani mengatakan tidak kepada kelompok-kelompok yang memaksakan pandangannya yang bertentangan dengan pancasila,” lanjutnya lagi.

Keberanian tersebut juga dipandang harus diikuti dengan adanya peran serta yang jelas dari pemerintah, yaitu terkait regulasi hukum yang jelas dan tegas terhadap kegiatan yang bersifat radikal. “Regulasi harus jelas keberadaanya, sehingga anggapan masyarakat bahwa negara tidak hadir atau negara tidak tegas itu akan hilang,” tegasnya lagi.

Ketidak tegasan hukum terhadap permasalahan radikaslime yang terjadi di Indonesia menjadi salah satu unsur utama berkembangnya radikalisme dengan subur di negeri pancasila ini.

Hal lain yang perlu diperhatikan secara objektif salah satunya adalah kekosongan pagar-pagar nasionalisme dan juga materi untuk menghadapi radikalisme. Menurut Kepala Badan Penanggulangan Terorisme, saat ini kampus menjadi lahan subur berkembangnya radikalisme ditanah air, banyak ajaran-ajaran yang tidak berlandaskan Pancasila masuk, sementara kegiatan yang berlandaskan pada nilai-nilai kebangsaan pancasila kosong.

Media dan Radikalisme

Terorisme sendiri tentunya berkaitan erat dengan media. Media adalah jalur utama yang digunakan oleh kaum radikal untuk menyebarkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan mereka, baik mengenai perkembangan kegiatan mereka dan perekrutan keanggotaan yang dilakukan. Media merupakan salah satu kunci yang paling penting didalam perkembangan radikalisme maupun deradikalisasi ini.

Ansyaad Mbai menilai media di Indonesia terlalu membuka celah yang cukup besar bagi para kaum radikal untuk mempromosikan kegiatan mereka secara gratis. “Di media internasional tidak ada satupun satupun media yang pernah melakukan siarang langsung dengan para kaum radikal atau teroris.

Hal ini terjadi karena media internasional menyadari mereka adalah salah satu sasaran teroris adalah untuk melakukan kampanye gratis dan menyebarkan perkembangan kegiatan mereka,” ujar Mbai. “ Disini pihak media hanya senang bahwa beritanya laku di konsumsi oleh masyarakat tanpa memperdulikan dampak apa yang terjadi,” tegasnya lagi yang terjadi.

Mbai menuturkan, salah satu pimpinan Terrorism Prevention Branch di PBB bahkan mengatakan bahwa media yang tidak proposional adalah media yang mau menyiarkan terorisme. Hal ini menjadikan media sebagai perpanjangan tangan tidak langsung dari para teroris untuk menyebarkan ajaran mereka.

“Di media internasional juga tidak ada aturan yang membatasi mereka, namun mereka memiliki yang dinamakan dengan common understanding dimana mereka tidak mau digunakan sebagai free campaign terrorism dengan cara membatasi diri mereka dalam pemberitaan tentang teroris,” ujar Mbai.

 “Pemberitaan mengenai terorisme radikalisme ini seharusnya bisa berangkat dari satu sisi yang sama, yaitu terorisme radikalisme ini adalah musuh Negara, bukan hanya musuh aparat hukum saja,” ujar Mbai.

“Pembantaian polisi di Palu itu sudah mengidentifikasikan sebagai perlawanan terhadap simbol negara, keinginan mereka untuk mengganti Pancasila dan UUD 45 itu jelas, fatal dan terbukti,” tambah Mbai.

Penelitian yang dilakukan oleh Australian Strategic Policy Institute (ASPI) menunjukkan ada 11 situs yang 100% merupakan propaganda teroris yang dimana 80 – 90 % pengunjung situs tersebut adalah orang Indonesia.

Dunia dan Radikalisme di Indonesia

Pihak internasional sangat menunggu reaksi Indonesia terhadap radikalisme yang berkembang di Indonesia. Pancasila dinilai oleh dunia internasional sebagai dasar yang kuat yang dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk menangani radikalisme yang ada.

Badan Nasional Penanggulangan Teroris sendiri mengharapkan bahwa rencana Kominfo untuk mengadakan kegiatan National Character Building dalam rangka melawan perkembangan radikalisme yang terjadi di Indonesia akan segera terwujud. (L.vi)

2 comments:

  1. Ishhh ini berat boooo beratttt ahahaha :D cocok utk kerja lg d ikp

    ReplyDelete