Suaka Jiwa Dwi Sasono & Widi Mulia, Berkonsep Modern Green Living

Article on HELLO! Indonesia, Edisi Mei 2015. Dwi Sasono & Widi Mulia
SUAKA JIWA
DWI SASONO & WIDI MULIA
BERKONSEP MODERN GREEN LIVING 
Bagi pasangan ini rumah adalah bagian dari jiwa, tempat di mana mereka bisa menciptakan kebahagiaan bersama keluarga dan juga menjadi diri sendiri.

Dwi Sasono & Widi Mulia bersama dengan ketiga buah hatinya

Bangunan kediaman bercat putih dengan langit-langit tinggi dan halaman yang rimbun menghijau menyambut HELLO! Indonesia. Kehangatan sebuah keluarga juga sangat terasa ketika pertama kali kaki melangkah masuk ke dalam rumah milik pasangan Dwi Sasono dan Widi Mulia. Dengan tema utama eklektik industrial mereka pun mencoba memadankan konsep modern dan green living dalam hunian mereka.

“RUMAH ADALAH KAMI”
Ruang depan rumah Dwi dan Widi yang didominasi dengan warna putih
Proses pengerjaan rumah seluas 330 meter persegi yang berdiri di atas tanah seluas 700 meter persegi ini diakui oleh sang pemilik sempat terlantar dalam kurun waktu yang terbilang lama. “Sekitar dua tahun pembangunan rumah ini benar-benar terhenti. Sampai terus terpikirkan oleh saya kira-kira kapan pembangunan rumah ini selesai,” tutur personel B3, Widi Mulia membuka perbincangannya dengan HELLO! Indonesia sore itu.

“Untungnya rumah ini rampung juga setelah tiga setengah tahun kami menunggu,” ujarnya lagi. “Ada uang, pembangunan berjalan, kalau sedang tidak ada uang ya pembangunan dihentikan dulu untuk sementara. Pernah juga rumah ini dibongkar tanpa menyisakan atap sama sekali,” sambung sang suami Dwi Sasono sambil tertawa. Unsur metal dan kayu sangat kental dalam rumah ini, bahkan tiang baja yang biasanya digunakan dalam membangun pabrik tampak menyangga kokoh di dinding tengah rumah. “Ada kisah tersendiri di balik tiang baja ini.

Saya sempat ditegur oleh tetangga sekitar, mengingat total panjang baja ini sekitar 12 meter dan dibawa oleh truk kontainer. Nah, truk tersebut sulit masuk ke dalam pekarangan, akhirnya dari depan gang menuju ke rumah saya, tiang itu diangkat menggunakan gerobak dan saat menurunkannya cukup menghebohkan karena sontak berbunyi ‘klontang’!,” kenang Dwi sambil tergelak. “Walaupun sempat terbersit dalam benak bahwa penggunaan tiang baja ini terkesan berlebihan, namun tiang baja ini akhirnya menjadi karakter dalam rumah ini. Dan apabila rumah ini hendak ditinggikan menjadi empat lantai, maka pondasinya sudah siap,” lanjutnya lagi.

Berbincang mengenai tema rumah, pasangan ini mengaku bahwa mereka mengadaptasi gaya eklektik industrial dengan sentuhan benda-benda berkonsep raw design di sekelilingnya. “Tema itu sebenarnya belum lama saya temukan, tapi dari awal membangun rumah tidak pernah terpikirkan untuk membangunnya dengan konsep khusus. Rumah ini mencerminkan gaya kami,” ungkap Widi.

Sentuhan kayu dominan diberikan pada pemilihan perabotan
“Yang pasti tidak bisa ditawar-tawar lagi saat itu adalah saya ingin rumah ini memiliki banyak jendela besar dan juga atap yang tinggi!” tegasnya. “Saat membeli rumah ini saya yakin bahwa kondisi bangunan rumah ini memungkinkan untuk dibuat sesuai dengan konsep tersebut. Setelah itu, kami mulai mencoba mengingat tempat-tempat yang pernah kami kunjungi seperti restoran, kafe, dan juga berselancar di internet. Ternyata kami itu selalu cocok dengan gaya yang industrial dengan raw design. Bukan dengan sesuatu yang terlihat fancy,” tutur Widi lagi. “I have nothing againts fancy things, hanya ternyata yang kami suka justru lokasi-lokasi yang terlihat belum selesai, dengan sentuhan yang masih mentah dan terkesan unfinished. Akhirnya kami kumpulkan dan setuju untuk membuat rumah dengan konsep tersebut,” lanjut perempuan kelahiran Jakarta, 29 April 1979 tersebut. Sempat dikagetkan oleh angka yang ditawarkan oleh beberapa kontraktor di awal pembangunan hunian ini, keduanya memutuskan untuk membangun sendiri tanpa bantuan arsitek. “Selain itu, rumah ini kami bangun tanpa gambar. Kami malah sempat berganti kontraktor hingga tiga kali. Kontraktor pertama..yah itu cerita lama. Lalu kontraktor kedua bukannya menyelesaikan proyek, melainkan menyisakan baja-baja raksasa. Akhirnya kami bertemu dengan kontraktor ketiga yang cukup cerdik menjadikan baja ini sebagai karakter terkuat dalam rumah. Kami pun lalu ‘menjahit’ rumah ini bersama-sama,” tutur lelaki kelahiran Surabaya ini.

“Toh pada dasarnya kami menginginkan rumah yang tidak rumit, yaitu hanya satu ruangan utama tanpa sekat dengan atap tinggi, karena kami tidak ingin menggunakan pendingin ruangan. Ukuran kamar tidur juga biasa saja asalkan fungsional. Saya hanya ingin jendela-jendela besar tersebar di sekeliling rumah,” kata Widi menambahkan. Dwi Sasono menceritakan juga bahwa saat ia membangun rumah ini ia juga di bantu oleh sahabatnya, Dendy, salah satu founder distro merk UNKL347 dan Larch Studio di Bandung. Larch dipercaya pasangan ini untuk mengerjakan lansekap taman, green wall serta beberapa mural yang tampak cantik menghiasi dinding dalam rumah.

Halaman belakang yang juga dihiasi dengan taman gantung
ADAPTASI KONSEP GREEN LIVING
Suasana rumah pasangan Dwi dan Widi semakin terasa asri berkat sebuah kolam renang berukuran sedang serta paviliun yang terpisah dari rumah utama. Sebuah hammock bahkan menggantung di pohon kelapa yang ditanam di halaman belakang rumah. Sekejap semua itu mengingatkan kami pada suasana Pulau Dewata. “Ubud dan Yogyakarta adalah lokasi liburan favorit keluarga kami. Jadi kami memang sempat bercita-cita ingin membangun rumah dengan suasana halaman yang memiliki kemiripan dengan suasana di sana,” tutur Dwi saat ditanya mengenai konsep halaman belakang rumah mereka.

Selain unsur kayu dan metal, tanaman hijau jelas menjadi bagian dominan di hunian ini. Widi menjelaskan bahwa dirinya mencoba mengadaptasi konsep green living ke dalam rumah. Selain tren rumah hijau, Widi meyakini bahwa keberadaan tanaman hijau di dalam satu hunian pasti akan memegang peranan dan memberikan manfaat yang sangat penting. “Saya rasa ini waktu yang tepat bagi saya untuk memulai hubungan yang baik dengan tanaman. Di sekolah anak-anak juga ada pelajaran menanam. Sebelumnya, Mas Dwi sangat menyukai kegiatan bercocok tanam karena sudah diajarkan oleh bapaknya sejak dulu. Jadi, saat saya berkata ingin memiliki taman, dan membawa taman ke dalam rumah, dia sangat senang,” lanjut perempuan yang telah menjadi ibu dari dua orang putra dan seorang putri.

Ruang santai di bagian belakang rumah
Rumah ini didesain secara ramah lingkungan. Di halaman belakang, pasangan ini membangun satu kebun hidroponik yang hasilnya bisa dikonsumsi keluarga. Belum lagi green wall yang terlihat cantik menghiasi ruang baca dan ruang makan. “Green wall cantik ini harus selalu saya jaga, sekitar dua hari sekali saya harus mengeluarkan tanamannya. Karena mereka juga butuh cahaya matahari. Ya memang untuk sebagian orang pasti terlihat sangat merepotkan, tetapi saya menyukai kegiatan ini,” papar Widi. “Konsep rumah hijau ini merupakan bagian dari cita-cita kami. Rumah pertama kami itu terkesan biasa, tetapi kerap dikunjungi banyak orang. Akhirnya saya dan suami memutuskan untuk membangun satu rumah yang dapat menjadi contoh gaya hidup yang lebih baik bagi semua yang berkunjung. Kebetulan, I’m so into ecoliving, sehingga terciptalah rumah dengan konsep green living ini,” ungkapnya bersemangat. “Pokoknya kami bikin sesuatu di rumah kami yang layak diunggah di media sosial,” kata Dwi sambil berkelakar.

MEMANFAATKAN BARANG LAMA
Arti dari green living tidak hanya bersahabat dengan tanaman, tetapi juga bersahabat dengan bumi, yaitu menghargai sesuatu yang telah bumi berikan dalam kehidupan. Hal itulah yang membuat lelaki yang sedang bermain dalam sinetron komedi berjudul Tetangga Masa Gitu ini senang dengan kebiasaan yang dimiliki oleh sang istri. “Widi itu tipe orang yang bisa memanfaatkan kembali barang-barang lama,” tuturnya yang disambut senyum manis sang istri. “Banyak perabot dalam rumah ini yang diberikan sentuhan personal olehnya. Dia bahkan pergi sendiri ke Pasar Cipadu untuk mencari bahan yang akhirnya dia jadikan gorden dan juga sarung-sarung sofa. Bahkan ada satu bangku yang tadinya berwarna cokelat kemudian dicat ulang olehnya menjadi warna kuning,” ungkap Dwi lebih lanjut.

“Ya, untungnya saya bertemu dengan Mas Dwi yang perilakunya tidak jauh berbeda dari saya. Mas Dwi sudah menabung kayu sejak lama dan dia mampu membayangkan kayu-kayu tersebut hendak dibuat menjadi apa. Dia bahkan membuat kreasi sebuah lampu gantung dari roda bajak bekas,” sela Widi. “Jadi dia bilang kalau saya punya chandelier kristal, dia juga punya chandelier roda bajak,” lanjutnya sembari tertawa. “Kami mempergunakan kembali perabot lama yang difungsikan menjadi sesuatu yang baru. Kami harus bertanggung jawab atas barang-barang lama kami,” tegasnya.

Dwi Sasono & Widi Mulia berpose di depan mural keluarganya
RUMAH DENGAN FENG SHUI YANG BAIK
Di antara dominasi warna putih di sekeliling rumah ternyata rumah ini juga memiliki pintu berwarna ungu tua dan pegangan pintu unik berbentuk dua belah tangan. “Dendy yang memberikan pegangan pintu yang dibelinya saat dia traveling. Dia membeli dua pasang pegangan pintu dan satu pasang ditawarkan kepada saya,” tutur Dwi. “Bagi saya filosofi pegangan pintu ini sangat positif, tangannya seperti orang berdoa, dan juga seperti mempersilakan orang masuk ke rumah, bukan mengusir. Kebanyakan pegangan pintu berbentuk tangan itu berbentuknya telapak tangan ke arah luar, seperti mengusir, ” ungkapnya lagi. Sementara pintu berwarna ungu diakui Widi menjadi pilihan ketiga mereka setelah dua pintu sebelumnya yang berwarna merah dan jingga. “Saya adalah pecinta warna ungu. Saya pernah membaca feng shui dari pintu ungu ternyata bagus, terlebih lagi bagi pintu rumah ini yang menghadap ke selatan,” ujar Widi menjelaskan.

“Kebetulan dari awal, feng shui rumah ini sudah bagus. Kami hanya mengembangkannya,” jelas Dwi yang meyakini bahwa rumah adalah tempat untuk memberikan energi cinta dan kasih, bukan hanya sekadar tempat untuk tidur. Sudut menarik dari rumah ini terlihat dari lukisan mural yang menghiasi beberapa dinding rumah. Salah satunya adalah lukisan mural yang sepertinya sengaja dibuat untuk menggantikan peran foto keluarga. “Saya ingin rumah saya berbeda dengan rumah-rumah kebanyakan.Lagipula saat itu saya sedang mengandung dan rasanya tidak akan ada waktu untuk melakukan foto keluarga. Akhirnya kami memutuskan untuk membuat mural di dinding rumah yang menggambarkan keluarga kami,” ungkap Widi yang menganggap rumah itu sebagai tempat para anggota keluarga menjadi diri sendiri. “Ya betul, akhirnya kami mencari referensi bersama, lalu muncul dengan konsep gambar yang bisa melukiskan kami, satu keluarga asal Indonesia yang berpikir secara global tanpa meninggalkan nilai tradisi yang ada,” tutur Dwi menambahkan. “Modern tetapi tetap berbudaya. Memiliki masa depan yang cerah tetapi selalu up-to-date. Budaya itu adalah hal yang akan kami bawa sampai kapan pun. Gambar balon udara dalam mural itu sebenarnya adalah penggambaran cita-cita kami yang setinggi langit,” papar Widi sambil menutup percakapan seru kami sore itu.

TEKS: SYAHRINA PAHLEVI
FOTO: INSAN OBI
PENGARAH GAYA: LISTYA DYAH
TATA RIAS: NITA JS (087883040818)
BUSANA DWI SASONO: T.M. LEWIN
BUSANA WIDI MULIA: COAST & TOMODACHI

Sumber: Majalah HELLO! Indonesia, May 2015 Edition

No comments:

Post a Comment