Article on Qerja.com, Star Leader. Letkol Gogor Aditya
Letkol Gogor Aditya Tentang Karir Militer:
"Kalau Dari Awal Sudah Tidak Tangguh, Minggir Saja"
by Syahrina Pahlevi


Menjadi seorang perwira Angkatan Darat memang menjadi cita-citanya sejak kecil. Namun siapa sangka bahwa banyak juga konsekuensi yang harus dihadapinya. Menjalani posisi sebagai seorang anak, kakak, suami, komandan, dan juga abdi negara secara bersamaan tidaklah mudah. Belum lagi berbagai tuntutan pekerjaannya di lapangan.

Kepada Qerja, Komandan Batalion Infanteri Mekanis 201/Jaya Yudha, Letnan Kolonel Infanteri Mohammad Imam Gogor A. Aditya berbagi tentang kisahnya terjun ke lapangan dan juga saat harus menjalani berbagai peran dalam satu waktu.

Menjadi seorang tentara, apa saja tantangan yang Anda hadapi?
Kalau sudah memilih menjadi seorang tentara itu maka sadar tidak sadar, suka tidak suka, mau tidak mau, terpaksa tidak terpaksa hidup kami itu sudah milik negara. Apapun yang akan dilakukan harus izin terlebih dahulu. Bukan berarti profesi yang lain tidak harus izin, tetapi saat menjadi seorang tentara walaupun izin sudah keluar, tapi ternyata di hari tersebut ada tugas yang harus dilakukan, ya mau tidak mau harus dilakukan dan izin harus dibatalkan. 

Walaupun hanya sekadar untuk jalan-jalan saja harus tetap izin dengan komandan. Kalau tidak dapat izin, ya tidak bisa keluar. Sudah tidak bisa sebebas dulu lagi. Hidup kami itu sudah milik negara. 

Kalau dulu zaman masih pangkat Letnan kadang saya masih suka kabur, tetapi makin ke sini sudah makin mendarah daging dengan konsep tersebut. Kalau dipikir-pikir juga buat apa. Sekarang saya justru sudah menduplikasi orang-orang di sekitar saya untuk memahami kondisi saya. 

Kemarin bahkan waktu adik saya Prita menikah, saya sudah hampir tidak mendapat izin untuk menghadirinya. Bapak sudah tidak ada dan satu-satunya orang yang bisa mendampinginya ya tinggal saya. Sementara saat itu saya juga harus dinas 5 Oktober (Hari Tentara Nasional Indonesia) di Cilegon, harus membawa pasukan kala itu. Sempat bingung sekali harus bagaimana, walau pada akhirnya izin pun keluar hanya untuk dua hari. Jadi setelah akad nikah dan resepsi saya langsung kembali ke pasukan.

 Tahun pertama sampai kelima memang sempat merasa, waduh kok hidup saya seperti ini sekali ya menjadi seorang tentara. Tetapi semakin lama semakin sadar, oh ya memang harus seperti ini. Kesulitan juga datang saat saya harus membuat semua orang di sekitar maklum dengan kondisi saya. Belum lagi saat akhirnya saya berkeluarga, saya juga harus membuat paham tidak hanya istri saya, tetapi juga keluarga dari istri saya mengenai kondisi kehidupan saya sebagai seorang abdi negara. 

Sementara itu kalau di kedinasan, tantangan pekerjaan itu rasanya semua sudah dipikirkan oleh negara. Kalau ada tantangan yang menghadang mereka sudah pasti menyiapkan solusinya, kalau tidak atau belum ada solusinya ya kami harus mampu untuk bertahan.

Sudah menjalankan karir di Angkatan Darat selama 17 tahun dan menjadi Komandan Batalion di umur 38 tahun, titik balik apa yang membuat Anda akhirnya benar-benar yakin bahwa menjadi seorang prajurit memang jalan yang akan Anda tempuh untuk seterusnya?
Kembali lagi kepada kenyataan bahwa saya itu orangnya apatis, saya hanya memiliki satu prinsip bahwa saat saya bekerja memang harus dari hati saya. Saya itu selalu bekerja tanpa pamrih. Saya tidak pernah mengerjakan sesuatu hal dengan baik hanya karena ingin melaporkan hasilnya kepada komandan. Dari sejak pangkat saya masih Letnan Dua hingga sekarang, saya tidak pernah melakukan hal tersebut. Nothing to lose, apakah pekerjaan tersebut bisa membuat saya naik pangkat atau tidak, semuanya saya kerjakan dengan sebaik-baiknya.
Kalau membahas tentang titik balik, ya Sesko (Sekolah Staff dan Komando). Sesko itu benar-benar berat. Saya saya sangat bersyukur diberi kesempatan satu kali tes bisa masuk pendidikan. Tahun 2012 itu umur saya 35 tahun, kalau sampai saya gagal 3 kali berarti umur saya itu 37 tahun. Saya dulu sempat memiliki pemikiran, kalau memang saya mengikuti ujian Sesko hingga tiga kali masih tetap tidak lulus, maka saya akan mempertimbangkan untuk tidak berkarir di jalur militer lagi, ketimbang saya tidak bisa berkarir secara maksimal. Mengingat belum tentu juga ada kesempatan untuk ujian Sesko menghampiri lagi. Bagi saya umur saya terlalu muda untuk disia-siakan. Kalau memang tidak bisa berkarir di tentara, ya saya akan berkarir di tempat lain. Tidak ada masalah bagi saya.

Saya bukan mencari pekerjaan hanya dari segi finansial, tidak. Saya hanya ingin saya yang memang punya semangat untuk bekerja, bisa terus bekerja dan juga membangun di bidang apapun yang saya lakukan. Kalau nanti ke depannya kegagalan mengikuti, Sesko akan menjadi rintangan saya untuk naik jabatan atau mendapatkan jabatan tertentu, ya buat apa. Prinsipnya saya bekerja itu dengan tulus dan yang saya lakukan itu harus berhasil. Saya ini orangnya tidak ambisius, tidak juga ngoyo. Kalau memang saya sudah tidak bisa berkarya di tempat ini, ya sudah, sebaiknya saya berkarya di tempat lain. Hal ini bahkan sudah sempat saya komunikasikan dengan keluarga.

Nasib berkata lain, saya ternyata lulus ujian Sesko dan setelah itu masuk menjadi Paspampres. Saya merasa sangat bersyukur karena sepertinya passion saya juga di sana, setiap hari operasi, setiap hari dinamika yang dihadapi juga berbeda-beda. Pekerjaannya sama tetapi tantangannya berbeda. Saya pun berusaha menjaga momentum ini supaya bisa terus maju.

Sebagai seorang Komandan Batalion, menurut Anda atasan yang ideal itu seperti apa?
Ideal, bagi saya kata ideal itu sangat relatif. Hal yang menurut saya ideal belum tenti ideal bagi orang lain. Tetapi kalau di tentara bagi saya atasan ideal itu yang pertama, dia mau memberikan ruang dan waktu bagi bawahannya untuk membuktikan bahwa dia bisa bekerja dengan baik. 

Kadang-kadang memang suka tidak sabar jika kita melihat bawahan yang tidak bisa mengerjakan pekerjaan yang dibebnkan kepadanya. Tapi sebagai atasan seharusnya bisa melihat dulu seperti apa sebenarnya karakter bawahan Anda. Kasih mereka pekerjaan, lalu lihat seperti apa mereka bekerja. Kalau memang jelek, ya tinggal diarahkan. Lama-kelamaan juga akan bisa terbaca berapa kapasitas yang dimiliki oleh bawahan tersebut. Kalau memang kapasitasnya cuma 70 persen, ya tidak bisa memberikan pekerjaan dengan kapasitas 90 persen kepada mereka. Kalau kapasitas mereka hanya 70 persen, berarti yang 30 persen itu adalah pekerjaan kita sebagai atasan.

Bisa memberikan ruang dan waktu untuk mengoptimalkan potensi bawahan. Saat bawahan tidak bisa melakukan, maka atasan harus membinanya, dan juga mampu memahami bahwa bawahan membutuhkan bantuan untuk menyelesaikan tugasnya.

Yang kedua, atasan yang ideal itu adalah orang yang bisa melaksanakan aturan pada saat dibutuhkan dan bisa membijaksanakan aturan saat diperlukan. Bukan menjadi terlalu fleksibel, tetapi bisa bijaksana saat dia dihadapkan dengan kondisi lain yang menuntut dia tidak melakukan aturan itu.

Seorang atasan di perusahaan bisa memilih bawahan seperti apa yang diinginkan. Paling tidak mereka bisa melakukan penyaringan kriteria melalui CV misalnya. Sementara sebagai seorang Komandan Batalion, bawahan yang Anda dapatkan itu sudah given dan selalu berbeda-beda karakternya di setiap lokasi penugasan. Nah, karakter bawahan favorit Anda seperti apa untuk bekerja?
Saya ini bukan tipe atasan yang setelah saya memberikan pekerjaan saya tidak mau tahu kendala yang dihadapi oleh bawahan saya itu apa. Saya termasuk tipe atasan yang terbuka, jadi saat saya memberikan pekerjaan dan bawahan saya merasa mendapatkan kendala maka ia bisa melaporkan kepada saya kendala apa saja yang ia hadapi.

Kalau sudah begitu kan saya tinggal memberikan arahan apa yang harus dilakukan. Dengan begitu juga saya juga akan mampu memahami kapasitas bawahan saya seperti apa.

Saya tidak pernah memilih bawahan, bawahan seperti apapun yang diberikan pasti akan saya terima. Paling nanti saya tinggal menyesuaikan saja. Kalau misalnya si A lebih cocok di tempat si B dan begitu sebaliknya, tinggal saya tukar posisinya. Karena dengan begitu mereka akan lebih optimal dalam pekerjaan mereka. 

Salah satu contoh, misalnya saya dikasih supir, dan ternyata supir tersebut kurang dapat bekerja dengan baik. Saya tidak akan langsung menolaknya, saya akan mengajarinya supaya bisa bekerja dengan lebih baik. Dengan demikian secara pribadi dia tidak akan merasa diremehkan atau merasa tidak diakui keberadaannya. Dan yang kedua, kemampuan dia jadi menjadi lebih meningkat.

Terkadang kalau ada orang baru datang itu akan mengubah semuanya. Nah, saya tidak. Saya akan melihat terlebih dahulu kerja kamu seperti apa, kalau kerja kamu bagus ya lanjut, kerja kamu tidak bagus, siapapun dia mau dari Secapa, Secaba, atau Akmil, saya tidak ada urusan. Walaupun dia dari Akmil kalau tidak bagus ya tidak saya pakai, sementara walaupun dia dari Secapa tetapi bagus ya saya pakai. Begitu juga sebaliknya.

Selain bisa mengikuti perintah dengan baik, saya juga suka jika bisa memiliki bawahan yang gemar berinovasi. Jadi tidak sekadar mengikuti dan menjalankan apa yang diperintahkan, tetapi juga mengembangkan hal tersebut menjadi sesuatu yang lebih berguna bagi dirinya.

Misalnya begini, saya mau anggota saya bisa lari menempuh jarak 3.200 meter dalam waktu 16 menit. Saya perintahkan mereka untuk lari setiap hari. Perintahnya jelas dan dilaksanakan. Bagi saya setiap hari mereka latihan lari itu sudah bagus, sudah sesuai perintah, tetapi orang yang berinovasi dia tidak hanya akan berlari, dia akan melatih untuk menguatkan kakinya, lalu dia juga menguatkan tangannya, supaya pada saat dia lari tangannya tidak mudah letih dan kakinya juga lebih kuat.

Apakah ada kesalahan yang pernah Anda lakukan dalam berkarir?
Kalau di kedinasan, apa ya? Saya bisa sampai di posisi saya sekarang sebagai komandan ini berarti kan saya juga pernah menjadi staff dan komandan bawahan. Dan saya selalu menyesuaikan kondisi tersebut. Saat saya menjadi staff, berarti saya tidak punya kepribadian karena semua keputusan ada di tangan komandan. Kalau pada saat saya menjadi komandan staff, saya selalu memiliki pemikiran bahwa saya adalah seorang komandan dan apapun risikonya harus saya ambil.

Sementara itu kalau di tugas operasi, Alhamdulillah hingga saat ini saya belum pernah melakukan kesalahan yang fatal sampai membuat anggota harus tertembak atau bagaimana.

Kalau di homebase, Alhamdulillah belum ada. Ya, kalau sampai yang fatal sih tidak ada, tapi saya juga pernah menerjemahkan perintah komandan, seharusnya begini tetapi saya mengartikannya lain. Terkadang juga kesalahan yang diperbuat ternyata bisa juga membawa kita kepada satu pembelajaran baru yang bisa membuat saya melakukan evaluasi kepada kinerja saya ke depannya.

Kalau mengenai pencapaian yang pernah Anda lakukan selama berkarir?
Di masing-masing level ada hal yang membuat saya merasa bahwa itu adalah sebuah prestasi bagi saya.

Salah satunya saat saya menjadi Komandan Kompi (Danki) di Kariango. Saya ditempatkan di kompi yang paling lemah dalam satu batalion, kompi yang ditinggal dalam kondisi yang tidak bagus. Anggotanya belum memiliki kerangka yang kuat dan kepercayaan diri mereka juga kurang sekali.

Saya akhirnya berpikir, kira-kira apa yang bisa saya berikan kepada mereka, supaya kompi ini memiliki satu kebanggaan. Apa kebanggaan bagi mereka, ya itu adalah prestasi. Saya lalu melatih mereka, pagi hari saat yang seharusnya kompi melakukan apel pagi, kompi saya tidak apel pagi. Dari subuh mereka semua sudah latihan. Orang latihan di jalan, kami latihan di pasir. Saya sampai berani ambil keputusan bahwa apel itu tidak jam tujuh pagi tapi jam sembilan pagi. Saat ditanya oleh komandan, saya bilang bahwa mereka (pasukan kompi) sedang latihan dan nanti akan melakukan apel pada jam 9 pagi. Alhamdulillah pada saat mereka mengikuti satu kegiatan regu tangkas, di mana setiap kompi harus bertanding mulai dari olahraga voli, sepakbola, renang, panjat tebing, menembak, dan juga halang rintang, ternyata mereka menang. Itu juga sempat membuat kompi lain kaget, karena kompi saya bisa dibilang underdog.

Kami ikut serta di lomba Ton Tangkas (Peleton Tangkas) dan kompi kami menang. Terakhir kami mengikuti POR (Pekan Olahraga) Kompi, ada 17 Kompi dan waktu itu kami meraih juara pertama. Bagi saya itu adalah satu pencapaian.

Pernah juga waktu itu saya masih memegang pangkat Kapten, saya adalah orang pertama yang melatih pasukan dalam jumlah besar yaitu 500 orang untuk melakukan demonstrasi Yong Modo di hadapan pak SBY dan itu termasuk sukses, mengingat sampai sekarang Yong Modo itu menjadi beladiri wajib di TNI AD.

Pencapaian yang terakhir itu, saya sangat bangga bisa ikut mengamankan lambang negara ini (Presiden). Itu merupakan salah satu pencapaian terbesar bagi saya.

Kalau pencapaian operasi di lapangan?
Kalau di lapangan, operasi pertama saya di Papua di perbatasan. Waktu itu pangkat Letnan Dua langsung dapat penugasan ke perbatasan. Saya bertugas selama 14 bulan di sana, 6 bulan pertama saya bertugas di Torai, perbatasan Merauke ke Papua Nugini. Kemudian saya pindah ke Tanah Merah, posisinya lebih naik lagi ke atas. Operasi di sana sangat berkesan, karena posisi yang jauh dan tidak apa-apa. Belum lagi pada saat itu komunikasi masih sangat susah dan terbatas. Kalau komunikasi ke rumah itu satu bulan sekali, waktu itu juga belum ada HP.

Lalu berlanjut ke operasi di Aceh, yaitu pengepungan di Desa Cot Trieng. Kami adalah salah satu pasukan yang masuk pertama ke sana dengan total sebanyak 36 orang anggota.
Terakhir saat saya bertugas di Freeport. Kami bertugas mengamankan objek vital nasional, waktu itu undang-undangnya pengamanan objek vital nasional masih di TNI ya.

Menjadi tentara, hal apa yang bisa memberikan kepuasan bagi Anda?
Kepuasan seorang tentara itu ada saat semua misi bisa dijalankan dengan baik. Harus mission accomplished, karena bagi kami tugas itu sebuah kehormatan.

Siapa yang memberi dukungan terbesar bagi Anda?
Dari istri dan juga keluarga. Semangat saya ya istri saya, Irma. Semangat saya juga adalah ibu dan kedua adik saya Nisa dan Prita. Ibu yang memang awalnya menentang tapi akhirnya menerima dan sekarang menjadi salah seorang pemberi dukungan terbesar bagi saya.

Istri saya, dia adalah pegangan saya. Secuek-cueknya dia terhadap pekerjaan saya tetapi dia tetap menjadi pegangan dalam kondisi apapun. Walaupun saya tidak pernah bercerita tentang pekerjaan, karena bagi saya apa yang terjadi di kantor tidak akan masuk ke rumah, begitu juga sebaliknya.

Kalau berbicara tentang masa depan. Kira-kira sekitar 5-10 tahun ke depan Anda akan berada di posisi apa?
Nah itu dia, karena tadi saya sudah bilang bahwa saya ini orangnya nrimo, maka saya itu orangnya berpikir logis. Lima tahun kalau sesuai dengan rencana saya paling tidak pangkat saya sudah berubah. Saya juga akan berusaha supaya jabatan saya bisa sesuai dengan passion yang saya miliki, karena saya yakin jika bekerja dengan passion pasti hasilnya akan jauh lebih optimal. Itu saja yang saya inginkan.

Tetapi kembali lagi kalau berbicara mengenai jabatan tidak ada yang bisa menyangkanya. Siapa sangka seorang wadan Dodikjur bisa ikut Sesko, atau seorang Pasi Korem bisa menjadi Danyon. Saya benar-benar santai menjalankannya. Saya selalu ingat nasihat yang diberikan oleh pak SBY, beliau bilang janganlah kamu besar karena jabatanmu, tapi besarkanlah jabatanmu itu. Dan saya benar-benar menerapkan hal tersebut.

Saya memang belum bisa membuat semua orang berdecak kagum karena prestasi saya sebagai seorang Angkatan Darat. Tetapi itu tidak masalah, rasanya cukup orang-orang di sekeliling saya saja yang bilang, "Kerjaanmu bagus, Gor." Itu saja saya sudah senang. Yang terpenting sekarang saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa militer adalah industri dan juga profesi yang keras untuk dijalankan. Apa saran Anda bagi orang yang ingin terjun menjadi tentara?
Banyak orang yang berpikir menjadi tentara itu keren. Itu salah besar. Yang benar adalah menjadi tentara itu berat. Jangan pernah Anda masuk ke militer hanya dengan niat supaya menjadi keren. Niat pertama haruslah tangguh. Kalau dari awal sudah tidak tangguh, ya lebih baik minggir saja.

Kalau tadi saya sempat bilang mau keluar, itu bukan karena tidak tangguh, saya itu mau keluar bukan mau minggir. Minggir itu hanya ikut-ikutan saja, jabatan di situ-situ saja juga tetapi tetap ikut-ikutan. Hasilnya lama-lama akan terpinggir juga. Saya tidak pernah mengecilkan orang yang seperti itu, semua memiliki jalannya masing-masing, tetapi sebagai pribadi saya tidak bisa seperti itu. Saya mau tetap energik, saya mau tetap bekerja. Apapun itu. Mau jadi satpam ya sudah. Yang penting saya bisa tetap berkarya. Pujian yang muncul dari orang bukanlah tujuan akhir saat saya bekerja.

Apakah ada isu yang perkembang di masyarakat dan menjadi perhatian Anda?
Saya ini orangnya agak terlalu apatis dengan isu-isu yang berkembang, karena bagi saya hal-hal seperti itu pasti sudah ada yang mengurus. Saya justru lebih tertarik pada akar permasalahan yang menurut saya adalah penyebab semua isu-isu yang sekarang berkembang itu bisa terjadi.

Menurut saya akarnya itu bukan disebabkan oleh pemerintah atau siapapun melainkan karena tingkat disiplin yang rendah sekali di masyarakat. Kenapa sekarang banyak sekali anak muda yang menggunakan narkoba, menurut saya itu karena dari muda mereka tidak bisa disiplin. Bagi saya, orang yang mengalami pendidikan dengan disiplin yang tinggi sejak kecil, lalu selesai pendidikan SMP saya sudah harus tingal jauh dari orangtua, saya prihatin melihat anak-anak muda sekarang. Sangat prihatin.

Misalnya saya sekarang, iseng melempar batu ke jalanan, pasti akan ada kepala yang bocor terkena lemparan batu tersebut karena tidak menggenakan helm. Mulai dari masalah kecil seperti itu, menuruti peraturan untuk naik motor yang baik saja tidak bisa. Itu adalah hal-hal yang menurut saya menyebabkan Indonesia kehilangan jati dirinya. Hilangnya kedisiplinan dan juga karakter dari sosok para pemudanya.

Coba saja lihat sekarang banyak anak-anak di tingkat sekolah menengah atas yang tidak tahu tata krama saat diajak berbicara oleh orang yang lebih tua. Saya saja belum lama ini baru saja memulangkan anak PKL di Batalion ini. Mereka bersikap sangat apatis, ditanya siapa kepala sekolahnya jawabannya tidak tahu, ditanya apa yang ingin kalian dapatkan di sini jawabanya juga tidak tahu. Setelah mereka beberapa hari di sini ternyata sikap mereka tetap tidak berubah, akhirnya saya kembalikan ke sekolah sebelum saya lebih marah lagi.

Saya juga selalu menekankan pendidikan moral kepada seluruh pasukan saya di sini. Saat mereka keluar dari kesatuan, semua harus memakai helm. Tentara itu harus punya SIM, jadi saat kebetulan ditilang mereka bisa menunjukkan SIM resmi mereka, tidak hanya sekadar bilang "saya anggota". Saya juga sedang menggalakkan program supaya orangtua yang ada di kesatuan saya melarang anaknya yang masih di bawah umur untuk mengendarai motor sendiri.

Saya yakin bahwa permasalahan-permaslahan yang terjadi di masyarakat itu juga merupakan salah satu imbas dari orangtua yang lupa memberikan pendidikan kepada anak-anaknya di rumah. Lupa memberi tahu bahwa kamu itu adalah seorang anak, harus bisa bersikap sopan kepada yang lebih tua, lupa juga mengajarkan dan menanamkan kepada anak-anaknya bahwa ada aturan-aturan tidak tertulis yang wajib mereka taat saat bermasyarakat, seperti mengantre, misalnya.

Nah, rasanya kok harus sudah ada yang lebih mengurusi hal tersebut, ya. Terlebih jika dikaitkan dengan bonus demografi yang akan dimiliki oleh Indonesia pada tahun 2020 nanti, akan banyak anak muda di negara ini. Saya concern sekali saat melihat anak-anak kecil tidak bisa sopan terhadap orangtuanya, gaya berbicaranya juga seenaknya. Oleh karena itu, kemarin dalam rangka memperingati Hari Pahlawan saya mengadakan lomba mewarnai dan mengarang hari pahlawan untuk 15 sekolah. Ke depannya juga saya ingin bekerja sama dengan Kemendikbud supaya banyak sekolah yang melakukan kunjungan belajar ke Batalion ini. Nanti di sini mereka akan diajarkan bagaimana cara disiplin yang baik, mengenai tata krama terhadap orangtua dan bagaimana mencintai alam.

Jika diberikan kesempatan untuk menemui sosok Gogor Aditya saat masih berusia 20 tahun, apa yang akan Anda katakan kepadanya?
20 tahun itu saya masih di Akademi Militer. Saya akan bilang hal yang sama yang dulu pernah dinasihatkan oleh bapak saya kepada saya. Masalah idealisme. Beliau pernah berkata, jangan terlalu membawa idealismemu itu kalau kamu tidak terlalu kuat. Kenapa saya akan mengatakan hal tersebut, karena saya merasa terlambat menyadari seberapa kuat idealisme saya.

Saat masih Letnan Dua saya masih menggebu-gebu melawan, padahal itu justru merugikan. Saya harusnya bisa lebih fleksibel. Bapak sudah menasihati bahwa saya harusnya bisa menyusun semuanya dengan lebih baik.

Beliau mengibaratkan dengan jika saya melakukan perjalanan membawa beban sebesar 100 kilogram menempuh 100 kilometer. Kalau memang kuat membawa beban sebanyak itu sampai akhir, ya silakan saja. Tapi kalau merasa di jarak berapa kilometer harus mengurangi jumlah beban tersebut, sebaiknya saya mengurangi beban itu dari awal. Saya seharusnya bisa mengukur seberapa kuat barang yang akan saya bawa dari awal sampai akhir tanpa mengubah jumlahnya, sehingga saya tidak akan rugi membuang tenaga berlebih di awal.

Seorang Gogor Aditya dalam tiga kata?
Gogor Aditya itu tegas, lalu saya ramah, dan saya juga tulus. Tidak pernah saya tidak tulus terhadap orang. Maksudnya saya tidak penah punya niat macam-macam terhadap orang lain.

Link: Qerja.com

Baca Juga:
Article on Qerja.com, Star Leader. Letkol Gogor Aditya
Letkol Gogor Aditya:
Perjuangan Mengejar Cita-Cita Jadi Tentara Tanpa Restu Orangtua
by Syahrina Pahlevi

 
Menjadi seorang tentara adalah salah satu cita-cita yang kerap dikatakan seorang anak saat masih kecil. Gambaran seseorang dengan seragam lengkap, berbadan tegap, dan bertugas menjaga keutuhan NKRI pasti terlihat sangat menarik bagi seorang anak. Bagi cukup banyak orang, impian menjadi tentara bisa terwujud jadi nyata, seperti yang terjadi pada Komandan Batalyon Infanteri Mekanis 201/ Jaya Yudha, Letnan Kolonel Infanteri Mohammad Imam Gogor A. Aditya.

Kepada Qerja, Letkol Gogor menuturkan bagaimana dirinya memulai karir di dunia militer hingga menjadi anggota pasukan pengawal presiden dan kini sebagai komandan batalion, meski awalnya tak disetujui ibundanya sendiri. 

Di mana Anda lahir?

Saya lahir di Kediri, 16 Februari 1977, 38 tahun yang lalu.

Apakah ada kebiasaan kecil yang masih Anda lakukan hingga sekarang?

Kebiasaan waktu kecil, saya ini dari kecil sepertinya tidak pernah mempunyai hobi yang cukup menarik. Paling waktu kecil sering main panas-panasan.

Tapi kalau tentang makanan yang dari kecil hingga sekarang pasti akan saya makan itu ada. Dari kecil, saya senang sekali makan nasi putih hangat, lauknya cukup dengan kerupuk dan kecap saja. Itu saja, dari dulu kalau makan dengan lauk seperti itu saya malah bisa habis hingga dua piring.

Bagaimana Anda memulai kegiatan Anda setiap harinya?

Kalau setiap pagi, biasanya saya bangun untuk menunaikan ibadah solat Subuh bersama istri. Setelah itu rapi-rapi sebentar, lalu biasanya saya lari minimal sekitar 5 kilometer setiap harinya. Apalagi sekarang posisi saya di Batalion, sekalian saja ikut lari bersama pasukan. Biasanya sih senam dulu, baru kemudian lari.

Coffee or tea?

I prefer to choose mineral water. Saya sama sekali tidak pernah minum kopi atau teh di pagi hari. Setiap bangun tidur pasti langsung minum air putih. Biasanya saya baru minum teh atau kopi setelah saya lari pagi. Itu juga kalau memang kebetulan sudah dibuatkan di ruangan saya.

Apakah Anda memiliki hobi?

Hobi, karena tidak pernah terlalu menyukai sesuatu secara khusus, sepertinya saya tidak pernah punya hobi yang juga spesifik. Paling sekarang ini saya senang lari, lalu juga sedang mendalami dunia menembak dengan senapan. Kalau memang sedang ada kesempatan mengunjungi negara lain, saya kerap membeli kaos dari Hard Rock Café saja.

Kalau membaca atau nonton?

Membaca buku dulu saya suka, tetapi sekarang tidak. Kalau nonton, lumayan senang juga, saya suka film-film seperti Matrix, The Bourne Trilogy, dan Mission Impossible.

Bagaimana Anda menghabiskan akhir pekan?

Saya ini sebenarnya termasuk orang rumahan, tidak begitu suka keluar rumah. Jadi kalau weekend paling di rumah. Kalau istri saya Irma sedang sempat memasak, ya kami makan bersama di rumah. Kalau memang sedang ingin keluar, biasanya kami nonton atau makan.

Justru biasanya saya selalu menyediakan waktu untuk keluar bersama istri saya di hari kerja, karena jam kerjakami membuat kami hanya bisa bertemu di malam hari, setelah ia pulang kantor dan saya selesai bekerja di Batalion. Biasanya saya menyediakan waktu untuk minimal keluar makan bersama dengannya, paling hanya sekadar makan di angkringan atau restoran ayam kremes yang posisinya tidak terlalu jauh dari Batalion. Biasanya dari hari ke hari, kami keluar makan paling tidak selama tiga hari.

Bisa ceritakan tentang latar belakang pendidikan Anda?

Sampai SMP saya sekolah di Kediri, setelah itu SMA saya sekolah ke Magelang di SMA Taruna Nusantara. Saya adalah murid SMA Taruna Nusantara angkatan ke-3. Kenapa Taruna Nusantara, karena saya dari dulu memang ingin sekali menjadi seorang tentara. Jadi itulah alasan kuat saya masuk SMA Taruna Nusantara. Saat itu saya berpikir bahwa akan lebih mudah masuk ke Akademi Militer jika saya adalah lulusan dari SMA Taruna Nusantara dibanding saya masuk di SMA biasa. Karena selain lokasinya yang memang dekat dengan Akademi Militer, di SMA Taruna Nusantara sendiri juga kami memang sudah dididik semi militer.

Jadi tahun 1992, saya masuk di SMA Taruna nusantara, lalu lulus di tahun 1995. Selesai dari SMA Taruna Nusantara, saya masuk di Akademi Militer selama 3,5 tahun dan selesai pendidikan di akhir tahun 1998. Saat itu status lulusan Akademi Militer itu sejajar dengan D4 namun belum ada gelar sarjananya seperti sekarang. Sejak lulus di tahun 1998, maka total sudah sekitar 17 tahun masa dinas yang saya jalankan.

Kalau di bidang pendidikan militer, setelah Akademi Militer, saya mengikuti kursus yang namanya kursus kecabangan. Jadi seorang perwira Letnan Dua itu harus punya kecabangan, dan kebetulan kecabangan yang saya ambil itu Infanteri. Nah, saat itu saya harus bersekolah lagi di sekolah infanteri, di Pusat Pendidikan Infateri (Pusdikif) di Bandung selama sembilan bulan.

Setelah itu saya masuk di kesatuan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Awalnya saya berpikir akan ditempatkan di salah satu brigade Kostrad yang ada di pulau Jawa, tapi ternyata Kostrad itu masih memiliki satu brigade di luar Pulau Jawa. Lokasinya jauh dari Makasar masih sekitar 45 kilometer, nama daerahnya Kariango, di sana saya bertugas sekitar 9-10 tahun.

Setelah penugasan di Kariango, untuk bisa naik ke jabatan Mayor, saya harus kembali sekolah di Sekolah Lanjutan perwira (Selapa), karena kalau tidak menjalani Selapa, kenaikan pangkat hanya bisa sampai Kapten tidak bisa ke pangkat Mayor. Sebelum Selapa itu saya menjalani dua kali tes. Tes pertama saya gagal, karena faktor kuota. Lalu tahun kedua saya berhasil masuk Selapa dengan penempatan di Yogyakarta pada tahun 2009.

Sampai setelah kejadian meletusnya Gunung Merapi di tahun 2010, saya kemudian pindah ke Magelang. Saat di Yogyakarta saya menjadi seorang Perwira Seksi Pembina Perlawanan Wilayah (Pasi Binwanwil) atau dikenal juga dengan Perwira Seksi Pembina Ketahanan Wilayah (Pasi Bintahwil), kami mengurus tentang potensi-potensi keamanan daerah yang rawan perang.

Setelah itu tahun 2010, saya pindah menjadi Wakil Komandan Komando Pendidikan Jurusan (Wadan Dodikjur) di Magelang. Itu juga merupakan bagian dari pendidikan Selapa yang sedang saya jalani. Saya menghabiskan waktu sekitar enam bulan di Dodikjur, lalu saya menjalani pendidikan Sekolah Staff dan Komado (Sesko) di Bandung.

Jadi seorang perwira untuk bisa naik dari pangkat Mayor ke Letna Kolonel (Letnan Kolonel) kami perwira harus menjalani pendidikan Sesko di Bandung. Nah, pendidikan Sesko ini yang berat. Pendidikan ini kerap menjadi momok menjadi para perwira TNI, karena pendidikan dan juga ujiannya benar-benar berat sekali.

Tetapi alhamdulillah saya diberikan kemudahan. Saat saya ditempatkan menjadi seorang Wadan di Dodikjur, teman-teman yang lain jabatannya sudah lebih elit, menjadi Wadan Yonif (Batalyon Infanteri) misalnya. Belum pernah ada sejarahnya seorang perwira akmil itu menjadi Wadan di Dodikjur, baru saya saja. Ya mungkin karena menjadi seorang Wadan Dodikjur itu dinilai kurang bergengsi, tidak seperti Wadan Secaba (Sekolah Calon Bintara) atau Wadan Secapa (Sekolah Calon Perwira). Saya sempat berpikir kenapa tidak ada yang mau menjadi Wadan di sana, padahal di Dodikjur itu enak, saya memiliki waktu yang jauh lebih banyak untuk belajar, waktu pembinaan fisik saya juga lebih banyak. Mungkin hal itu juga yang memudahkan saya melalui tes Sesko.

Saya masuk di Sesko tahun 2011/2012, pendidikan selama satu tahun. Lalu di akhir tahun 2012, saya ditarik masuk ke Pasukan Pengaman Presiden (Paspamres). Kenapa saya bilang ditarik, karena setelah menyelesaikan Sesko, saya memang belum mempunyai tujuan mau ke mana, tapi ternyata mantan Komandan saya di Kariango mengajak saya masuk ke dalam Paspamres. Yasudah akhirnya saya masuk di Paspampres dari tahun 2012 hingga Juni 2015 lalu. Hampir tiga tahun dan melewati dua masa pemerintahan yang berbeda.

Bagaimana cerita tentang perjalanan karir Anda di Paspampres hingga akhirnya menjadi seorang Komandan Batalyon?

Awal bergabung di Paspampres itu saya menjadi seorang Perwira Bantuan Madya Staff Operasi (Pabandya Op), yang tugasnya mengoperasionalkan seluruh kekuatan Paspampres, baik dari grup A untuk Presiden, grup B untuk wakil Presiden, grup C untuk tamu-tamu negara, dan juga grup D untuk para mantan Presiden dan Wakil Presiden. Jadi tim saya meramu semua kekuatan yang ada untuk operasional Paspamres. Dan Paspampres itu berbeda dengan satuan biasa, Paspampres adalah satuan yang operasionalnya berjalan setiap hari sepanjang tahun. Tugas utamanya ya mengamankan Presiden dan Wakil Presiden, termasuk saat ada Konferensi Tingkat Tinggi yang berlangsung

Menjelang pemerintahan Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) selesai, saya mendapatkan kesempatan ikut kursus Komandan Batalion. Itu selama satu setengah bulan. Setalah selesai mengikuti pendidikan Komandan Batalion, saya ditempatkan di Detasemen Pengawalan Pribadi, yang menempel langsung kepada Presiden. Saya akhirnya menjadi Komandan Detasemen (Danden) di grup A dan mundur dulu dari kesempatan menjadi seorang Komandan Batalion (Danyon). Padahal saat itu posisinya saya sudah siap menjadi seorang Danyon.

Sebenarnya secara karir, seorang Danden dan Danyon itu berada di level yang sama, tetapi bagi seorang prajurit Infateri kalau belum menjadi Komandan Batalion rasanya ada yang kurang.

Tapi saat itu saya merasa tidak ada salahnya juga saya menjadi seorang Danden sebelum menjadi Danyon. Hitung-hitung juga menambah pengalaman saya. Penugasan terakhir saya dengan pak SBY itu adalah rangkaian kunjungan ke Papua, dari Papua lalu ke Timur Leste lanjut masuk ke BDF (Bali Democracy Forum). Itu tugas terakhir saya dengan Pak SBY, setelah itu saya sudah disiapkan untuk menjadi Danden siapapun kandidat Presiden baru yang menang, pada waktu itu antara Pak Jokowi atau Pak Prabowo. Saya salah satu dari empat Dandem yang ada. Empat Danden ini akan dibagi menjadi dua, satu tim ditempatkan bersama dengan grup A, dengan Presiden baru, satu tim ditempatkan dengan mantan Presiden.

Saya seharusnya bergabung dengan grup A. Tapi di lapangan saya sempat harus tetap menempel dengan tim lama yaitu dengan Pak SBY. Saat saya berangkat ke Papua, ternyata Pak Jokowi ditetapkan oleh KPU sebagai Presiden yang baru, sehingga tim yang satu lagi harus segera naik, sementara tim yang harusnya mengantikan saya juga sedang mengawal Pak SBY. Akhirnya tim baru dipegang oleh seorang perwira baru, sementara saya masih terus mengawal tim Pak SBY hingga BDF. Selesai dari BDF baru saya terjun ke tim Presiden baru, mengawal Pak Jokowi.

Setelah itu, saya lanjut bertugas di grup A terus sampai pelantikan di bulan Oktober 2014. Saya bertugas dengan Pak Jokowi hingga bulan Juni, tetapi posisinya sebenarnya saya sudah mendapat Surat Keputusan (SKET) untuk menjadi Komandan Batalion di Batalion Infanteri Mekanis 201/ Jaya Yudha. Tetapi saya sempat tertahan karena belum ada yang mengantikan saya menjadi Danden di grup A. Akhirnya saya sempat mangkir selama dua bulan dari jabatan Komandan Batalion. Tugas terakhir saya dengan pak Jokowi adalah saat pernikahan Mas Gibran (anak Jokowi – Red). Selesai acara saya pamit kepada bapak (Jokowi) lalu serah terima jabatan di sini pada tanggal 26 Juni 2015. Hingga sekarang saya pun akhirnya bertugas menjadi Komandan Batalion di Batalion Infanteri Mekanis 201/ Jaya Yudha.

Di antara semua profesi yang ada, kenapa Anda memilih menjadi seorang Tentara?

Dulu sejak kecil, saat saya ditanya oleh kakek, "Mau jadi apa, Le?" jawaban saya selalu menjadi tentara. Saya juga tidak tahu mendapat keinginan menjadi tentara itu dari mana. Di kampung saya di Kediri memang ada Batalion 521, tetapi posisi rumah saya juga jauh dari Batalion. Saya juga tidak hidup di lingkungan tentara, karena sejauh yang saya tahu belum ada tetangga saya yang menjadi seorang prajurit.

Sebenarnya jawaban saya itu sempat membuat Ibu saya gelisah. Beliau menganggap behawa jawaban tersebut hanya bunga masa kecil saya saja, seiring berjalannya waktu pasti keinginan tersebut akan berubah. Tapi masuk kelas 6 SD saya masih ngotot ingin mejadi tentara. Saat saya masuk kelas 3 SMP saya mengetahui bahwa salah seorang kakak kelas saya ada yang masuk di SMA Taruna Nusantara, wah... itu semangat saya semakin menggebu-gebu.

Kalau ada yang bertanya kenapa tentara bukan polisi, nah, itu saya juga bingung karena dari awal saya mengatakan ingin menjadi tentara dan tahunya tentara itu ya Angkatan Darat. Sampai SMA, saya sempat berubah ingin menjadi seorang pilot karena pada saat itu ada kakak kelas saya, angkatan pertama di Taruna nusantara, yang diterima di Garuda Indonesia. Dia disekolahkan ke New Zealand, hal itu menarik bagi saya. Namun rasanya memang bukan nasib saya menjadi seorang pilot, saat saya sudah masuk tingkat tiga program Garuda Indonesia itu di-pending.

Akhirnya saya kembali ke tujuan awal saya menjadi seorang tentara. Saat itu saya sudah bisa melihat bahwa ada Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Akademi Polisi. Saya sempat ingin menjadi seorang AU, tetapi ternyata disposisi yang diberikan kepada saya lebih berat ke Angkatan Darat, ya sudah akhirnya saya masuk di Angkatan Darat.

Saya menjadi seorang tentara itu rasanya adalah perwujudan dari doa saya sejak kecil, karena orangtua saya pada dasarnya tidak ada yang setuju saya menjadi tentara.

Kalau begitu kondisinya, lalu bagaimana dukungan orangtua Anda terhadap karir Anda?

Waktu akhirnya saya memutuskan untuk masuk di Taruna Nusantara, orangtua saya sudah tidak setuju. Ibu saya bilang, "Sudah, SMA-nya di sini (Kediri) saja, nanti baru kuliahnya di sana,” karena Ibu saya tahu kalau sampai saya masuk di Taruna Nusantara pasti kelak saya akan menjadi seorang tentara. Ibu saya bahkan sampai tidak memberikan tanda tangannya di Surat Izin Sekolah, akhirnya nekat sampai saya palsukan. Setelah itu sebelum kegiatan belajar dimulai, ibu dan saya pun dipanggil ke sekolah.

Pulang dari sana, hampir sebulan ibu tidak mau berbicara dengan saya. Sempat tidak mau saya antar jemput dari rumah ke apotek tempatnya bekerja. Sampai akhirnya ibu dimarahi oleh nenek. Nenek bilang, anak mau maju kok malah tidak didukung. Akhirnya saya pun mendapatkan restu dari ibu untuk bersekolah di Taruna Nusantara.

Selesai menempuh pendidikan di Taruna Nusantara, saat pengumunan kelulusan saya bilang lagi kepada Ibu bahwa saya mau jadi tentara. Setelah itu kembali ibu tidak mau ngomong sama saya. Selesai masa basis tiga bulan, ibu datang ke lokasi pendidikan dan akhirnya beliau berkata, "Ya sudahlah, Le, terserah kamu mau jadi apa." Akhirnya saya menjadi seorang tentara hingga sekarang.

Seperti apa tantangan yang dihadapi Letkol Gogor selama mengemban tugas? Simak lanjutan wawancaranya hari Kamis nanti di Qerja Star Leader.


Link on Qerja.com


Article on Qerja.com, Star Leader. Novita Angie: Pemimpin yang Ideal itu Harus Bisa Tegas
Novita Angie:
Pemimpin yang Ideal itu Harus Bisa Tegas
by Syahrina Pahlevi


Diakui oleh Novita Angie bahwa pekerjaan sebagai seorang Editor in Chief memberikan satu pekerjaan rumah ekstra baginya. Dirinya yang sudah terbiasa dibantu untuk mengurusi berbagai macam jadwal kegiatan hariannya, kini harus bisa mengatur dengan baik jadwal terbit majalah HELLO! Indonesia yang dipimpinnya. Belum lagi ia juga memiliki satu tim redaksi yang juga harus ia jaga.

Kali ini kepada Qerja, Novita Angie bertutur tentang pandangannya terhadap seorang pemimpin yang ideal.

Berbicara mengenai posisi anda sebagai seorang Editor in Chief. Apa yang menjadi pertimbangan utama Anda saat merekrut seorang karyawan? Apakah karakternya, nilai akademik, atau kombinasi di antara keduanya?

Bagi saya yang pertama memang latar belakang pendidikan dan nilai akademiknya. Lalu setelah itu karakter yang dimiliknya. Setelah itu biasanya sih saya kerap mengandalkan insting saya terhadap orang tersebut. Beruntung di sini saya juga bisa meminta pendapat dari orang lain saat akan merekrut seorang pegawai. Saya dibantu oleh Managing Editor saya.

Kenapa saya membutuhkan pendapat orang lain? Karena saya itu pada dasarnya orangnya mudah dekat dengan seseorang. Kalau sudah begitu, posisinya penilaian saya bisa membias dan tidak fokus lagi. Oleh karena itu saya membutuhkan sekali pendapat dan juga masukan dari sisi lain. Belum lagi saya orangnya sering merasa tidak enakan dan bisa dibilang level toleransi saya terhadap seseorang itu tinggi sekali. Hal inilah yang menjadi satu kelebihan sekaligus kelemahan bagi saya saat harus merekrut seorang pegawai.

Kalau konsep mengenai atasan yang ideal itu menurut Anda seperti apa?

Setelah saya bekerja kantoran, saya sering berbincang dengan Mas Alex (Alexander Sriewijono, Psikolog - Red), lucunya adalah saat beliau mengomentari gaya kepemimpinan saya, Mas Alex bilang, "Ngie, setelah kita berteman sekian lama, gue menemukan sesuatu hal yang berbeda dan menarik dari lu. Gaya kepemimpinan lu beda dari orang-orang biasanya."

Saya tanya lagi, "Salah nggak, Mas?” Dia bilang, "Nggak apa-apa kok, Ngie. That's the way you lead. It’s ok." Karena menurut saya saat menjadi seorang pemimpin, saya juga harus nyaman. Walaupun pada dasarnya saya memiliki karakter yang emosional, tetapi saya tidak nyaman dengan gaya kepemimpinan yang harus marah-marah atau membentak-bentak orang.

I always try to put myself on somebody else's shoes. Saya tidak suka dimarahi oleh atasan saya, jadi sebisa mungkin juga saya tidak akan memarahi anak buah saya. Kalau memang masih bisa diarahkan baik-baik, ya sudah, lebih baik dibahas secara baik-baik saja. Kalau masih tidak didengarkan juga, mari kita cari cara lain untuk memberitahukannya. I always try to stay positive with my life.

Jadi bagi saya seorang pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang bisa dekat dan membuat timnya mau terbuka dengannya. Timnya bisa sampai di tahap nyaman berbincang dengannya. Tapi pada waktu yang bersamaan sosok tersebut juga harus bisa tegas. Nah, itu satu hal yang saya belum bisa lakukan, menjadi sosok yang tegas. Batas toleransi saya menjadi seorang pemimpin rasanya masih terlalu tinggi.

Karena kembali lagi, saya merasa dimarahi itu tidak enak, padahal pada kenyataannya memang tidak semua orang bisa diajak bicara secara baik-baik. Itu yang saya coba tanamkan sekarang, bahwa tidak semua orang bisa diajak bicara dengan baik-baik.

Belum lama ini di radio kami saya membahas tentang how to motivate your team. Sebagai seorang pemimpin, apa yang akan dilakukan saat tim Anda datang dan berkata bahwa dirinya tidak mampu melakukan hal yang ditanggungjawabkan kepadanya. Saat pertanyaan itu dilempar kepada saya, jawaban saya adalah saya akan bertanya, kenapa dan apa yang membuat dirinya tidak merasa mampu melakukan hal tersebut. Ternyata cara saya tersebut termasuk jarang dilakukan oleh seorang pemimpin, kebanyakan pemimpin akan melakukan enforcement pada si karyawan dan menegaskan bahwa dia pasti akan bisa melakukan hal tersebut. Tapi bagi saya dibanding melakukan satu pemaksaan atau penekanan, saya lebih baik berbicara dengan yang bersangkutan mengenai permasalahan yang dia hadapi.

Selama perjalanan karir, apakah Anda pernah melakukan kesalahan yang fatal?

Hmm, kesalahan fatal. Kalau sekadar salah menyebut nama acara, salah sebut merk, pernahlah itu pasti. Salah mengambil tawaran satu pekerjaan yang ternyata berimbas kepada karir, juga pernah. Tapi, pada dasarnya saya tidak pernah mernganggap itu sebagai satu kesalahan. Because I learn something from every mistakes, dan kita memang harus melalui hal tersebut. Saya belajar sesuatu sehingga saya tidak akan jatuh di lubang yang sama lagi nantinya. Lagipula rasanya memang tidak ada yang mulus-mulus saja dalam kehidupan.

Kalau pencapaian yang membanggakan bagi Anda?

Yang membuat saya merasa bangga… kalau boleh jujur ya, posisi saya sebagai seorang Editor in Chief. Saya bisa memberikan peran yang nyata dalam perkembangan majalah yang saya pimpin ini. Mengadakan acara besar, oplah majalah naik. Hal-hal tersebut membanggakan bagi saya. Menjadi seorang Editor in Chief itu benar-benar membuat saya mampu membuktikan bahwa saya mampu melakukan hal yang sebelumnya terlihat tidak mungkin bagi saya.

Tips dan trik saat Anda menghadapi karyawan dengan karakter yang berbeda-beda?

Saya selalu mencoba dekat dengan karyawan-karyawan saya sehingga saya bisa mengenal karakter mereka yang sebenarnya. Mengingat meng-handle pribadi setiap orang itu kan berbeda-beda ya caranya. Itu juga salah satu keuntungan yang saya dapatkan dengan menjadi dekat dengan tim saya.

Menurut Anda karakter karyawan seperti apa yang ideal?

Kalau mau dipukul rata, semua orang pasti mau karyawan yang patuh, sehingga semuanya akan aman-aman saja. Tapi bagi saya tidak juga seperti itu. Mendapat karyawan yang patuh-patuh saja. Come on, there is no such thing in life. Kalau semuanya mulus-mulus aja, itu bukan hidup.

Basically, saya adalah orang yang merasa jika hidup saya stabil-stabil saja, mulus-mulus saja, pasti akan ada sesuatu hal yang terjadi di depan. Di saat ada kerikil-kerikil dalam hidup saya, justru itu tidak apa-apa bagi saya. Karena jika Anda menjalani hidup yang serba mulus, lalu kemudian bertemu dengan hambatan yang kecil saja, itu akan menjadi berat bagi Anda.

Kalau menginginkan karyawan yang bisa bekerja sama dengan baik, ya pastinya. Tapi itu normatif sekali. Jadi bagi saya, karyawan yang ideal adalah karyawan yang bisa bekerja sama dengan baik, tetapi dia tidak sekadar seorang "yes man", namun juga bisa diajak berdiskusi. Bagi saya belajar itu tidak ada kata selesai, sehingga saya senang sekali jika mendapatkan tim yang bisa juga membuat saya mendapat berbagai ilmu baru. Bisa diajak berdiskusi itu juga penting, karena saat ada kesalahan yang terjadi mereka bisa saya ajak berdiskusi dengan baik.

Sebaliknya, karyawan yang tidak ideal?

Yang tidak bisa diajak kerja sama, dan tidak bisa diajak ngobrol. Wah susah deh, kalau sudah seperti itu.

Berbicara mengenai perkembangan industri media. menurut Anda bagaimana nasib media di Indonesia ke depannya. Terutama untuk media cetak?

Media di Indonesia akan maju sekali. Masyarakat Indonesia sudah melek media. Mereka update terhadap setiap perkembangan informasi dan juga trend yang ada.
Kalau untuk media cetak, akan berjalan lah untuk sekitar 10 tahun ke depan. Kenyataannya orang Indonesia itu masih lebih menyukai sesuatu yang ada bentuk fisiknya, seperti majalah. Masih jauh lebih menyenangkan membaca majalah secara fisik dibanding membaca lewat gadget. Tapi, ya tidak bisa dipungkiri bahwa sekarang semuanya mengarah dan bergerak ke era media digital.

Tantangan terbesarnya?

To survive, terutama untuk media cetak. Karena yang terjadi sekarang persaingan itu bukan antara satu majalah cetak dengan majalah cetak lain, tetapi antara satu majalah cetak dengan majalah digital. Persaingannya itu terjadi di dalam dua platform yang berbeda.

Kalau tantangan terbesar saat Anda mengelola HELLO! Indonesia?

Bagaimana saya harus bisa membuat majalah HELLO! Indonesia dikenal oleh orang banyak. HELLO! itu adalah majalah yang sangat besar sekali di luar negeri sana, di UK, US, dan Spanyol misalnya. Adalah satu tantangan yang sangat besar memperkenalkan HELLO! kepada masyarakat Indonesia, terlebih lagi majalah ini bisa dibilang cukup segmented. Hanya kelas-kelas tertentu saja yang mengenal HELLO!. Saat saya sudah memahami siapa sebenarnya pangsa pasar HELLO! tugas saya akhirnya adalah untuk menjelaskan bahwa majalah HELLO! juga ada di Indonesia.

Adakah tips yang harus dilakukan untuk seseorang yang ingin seperti Anda?

Wah, harus kuat iman, apalagi buat yang tidak terbiasa mengatur orang banyak. Itu yang paling susah. Dan juga harus kuat mental berhadapan dengan orang banyak.

Kalau Anda diberi kesempatan untuk memberikan nasihat kepada seorang Novita Angie di usia 20 tahun, apa yang ingin Anda katakan?
 

Ada bagian-bagian di dalam kehidupan saya, yang terkadang masih membuat saya berpikir kenapa saya melakukannya. Tapi saya bisa berada di posisi sekarang ini juga pastinya karena efek dan berbagai kesalahan dan juga keputusan yang saya ambil. Tapi, kalau memang mendapatkan kesempatan itu, hmmm... saya di usia 20 tahun, itu tepat 20 tahun yang lalu. Mungkin saya harus mengatakan bahwa saya seharusnya tidak mengambil kuliah jurusan ekonomi manajemen.

Kalau boleh sebenarnya mundur lagi saat saya masih duduk di bangku SMA. Saya akan bilang, supaya saya bisa belajar lebih serius lagi sehingga saya bisa masuk di kelas A1 (Biologi) atau A2 (Fisika) sehingga saya bisa menjadipPsikolog. Karena sebenarnya saya ingin sekali menjadi psikolog. Atau paling tidak, saya akan berkata supaya saya lebih serius lagi memikirkan bidang studi apa yang harus diambil untuk masa depan saya. Harusnya saya bisa lebih serius lagi mengikuti passion saya saat itu. Ekonomi manajemen is not my passion at all.

Mungkin juga saya akan mengatakan kepada diri saya untuk mengambil jurusan jurnalistik, jurusan penyiaran, mengingat saya juga memiliki passion dengan dunia tersebut. Jadi saya tidak sekadar memilih jurusan hanya karena tidak ingin mengikuti kegiatan Ospek.

Saya akan meminta diri saya 20 tahun yang lalu untuk lebih mengikuti kata hati saya.
 
Novita Angie dalam tiga kata?

Me in three words. Cheerful, pakai perasaan, dan total. Karena saya saat udah mengerjakan sesuatu itu total, makanya kalau ada apa-apa jadinya terbawa perasaan. Kalau cheerful, I think everbody can see that. Pembawaan saya memang sangat riang sekali.


Foto: Dokumen Istimewa Majalah HELLO! Indonesia
Article on Qerja.com, Star Leader. Novita Angie dan Tantangan Jalani Tiga Profesi Secara Bersamaan
Novita Angie dan Tantangan Jalani Tiga Profesi Secara Bersamaan
by Syahrina Pahlevi
Novita Angie mengawali karirnya sejak masih belia. Ia memulai perjalanannya dengan mengikuti ajang pemilihan Gadis Sampul di majalah GADIS pada 1992. Kala itu ia sukses menjadi finalis di ajang tersebut. Setelah itu, wanita yang kini telah memiliki dua orang buah hati ini mulai terjun serius ke dunia hiburan. Berbagai macam profesi seperti menjadi pemain iklan, sinetron, dan juga film sudah pernah dilakoninya. Sosoknya juga dikenal sebagai salah satu MC kawakan di Tanah Air.

Belakangan, ia juga aktif menjadi penyiar radio di Cosmopolitan FM dan juga Editor in Chief di majalah HELLO! Indonesia. Kepada Qerja, Novita Angie berbagi cerita tentang tantangan yang dihadapinya saat menjalani tiga profesi tersebut.

Di mana Anda lahir dan besar?
Saya lahir di Jakarta, 30 November 1975. Saya lahir dan besar di Jakarta.

Adakah kebiasaan waktu kecil yang masih terbawa hingga saat ini?
Ada, kebiasaan ngomong. Saya itu tukang ngomong. Hahaha. Sampai waktu kecil, saat saya masih duduk di Sekolah Dasar, saya pernah dihukum bersama tiga orang teman saya, tiga-tiganya cowok, kami dilarang pulang setelah kelas selesai. Kami berempat harus berdiri di depan kelas dan diplester mulutnya. Jadi benar-benar pernah dihukum karena kebiasaan saya ngomong ini. Kebetulan waktu itu saya bersekolah di sekolah Katolik, dan susternya marah karena kami berempat tidak pernah berhenti ngomong di dalam kelas.

Bagaimana biasanya Anda memulai hari?
Saya selalu bangun sekitar pukul 5 kurang setiap paginya. Lalu saya mandi. Setelah saya rapi kemudian saya langsung membangunkan kedua anak saya, lalu mereka mandi. Baru saya berangkat ke radio untuk siaran pagi. Tapi kalau mereka sedang ada ulangan, saya membangunkan mereka segera setelah saya juga bangun. Jadi saat saya mandi, mereka juga mandi. Saat saya sudah siap, mereka akan belajar mempersiapkan ulangan mereka.

Do you prefer coffee or tea?
Tea. I’m a tea person. Kalau mengantuk saja saya memilih minum teh. Oh, kalau boleh ditambahkan, saya itu tea and chocolate milk person. Any kind of chocolate milk, I will enjoy it.

Bagaimana biasanya Anda menghabiskan waktu di akhir pekan?
Tidur. Hahaha. Mengingat saya selalu memulai hari saya sangat pagi sekali setiap harinya. Dan kegiatan saya itu benar-benar sudah nge-gas full mulai pukul 6 pagi sampai kegiatan hari itu selesai. Jadi akhir minggu itu memang waktunya saya untuk bangun lebih siang. Sebisa mungkin saya menghindari kegiataan di pagi hari saat akhir pekan.
Kalau dulu sebelum kerja kantoran, pulang siaran saya bisa tidur, tetapi sekarang setiap selesai siaran kalau memang tidak ada jadwal syuting maka saya langsung ke kantor.
Selain itu kenapa saya lebih suka tidur di akhir pekan, karena biasanya akibat pekerjaan saya yang mengharuskan saya memulai semua di pagi hari, maka Jumat malam itu biasanya saya pulang agak malam.

Yah, sesiang-siangnya saya bangun di akhir pekan biasanya hanya sekitar pukul 8 pagi. Lalu setelah itu saya akan menghabiskan waktu bersama suami dan juga anak-anak saya, mengingat saat weekdays, jam kerja suami saya dan saya itu terbalik. Apalagi saat dia harus syuting untuk pertandingan sepakbola.

Kalau mengenai hobi?
Nonton. I like to watch movies. Makanya jika televisi di rumah saya sedang menyala pasti selalu di stasiun televisi kabel yang menayangkan film.

Film favorit Anda?
Pretty woman dan Click. Kalau Pretty Woman nggak usah ditanya lagi lah ya, everybody loves it. Sementara itu kalau film Click, setiap menonton film itu saya pasti selalu menitikkan air mata.

Adakah topik terkini yang menarik perhatian Anda?
Saya selalu tertarik terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan anak dan juga masalah korupsi. Tapi kalau untuk masalah korupsi saya pasti terbawa emosi.

Saya merasa bahwa negara ini memang sudah bobrok dan susah sekali untuk membenahinya. Butuh ketegasan dan keberanian tersendiri. Saya selalu emosi saat melihat berita tentang korupsi dan juga kebobrokan moral dari pejabat Indonesia. Menyedihkannya adalah sekarang kebobrokan moral tersebut juga sudah merambah ke semua lapisan masyarakat yang ada di Indonesia. Menurut saya ini juga imbas dari pembodohan publik yang dilakukan oleh pemerintah. Banyak sekali tayangan televisi yang tidak mengedukasi yang tetap dipertahankan. Pemerintah seperti membiarkan masyarakatnya tetap bodoh. Di situ saya merasa marah dan kesal.

Lucunya, satu waktu saya pernah bertemu dengan seseorang yang mampu membaca past life dan juga aura. Saat dia melihat aura saya, dia hanya berkata, “Mbak, kurang-kurangin nonton berita ya, Mbak.” Saya tanya kenapa. Dia bilang bahwa setiap saya menonton dan membaca berita yang ada, maka akan mengaduk-aduk emosi saya. Saya pribadi merasa hal itu benar, tetapi pekerjaan yang saya jalani ini juga menuntut saya untuk tahu tentang perkembangan kondisi yang terjadi di masyarakat sekarang.

Anda kuliah di mana, jurusan apa, dan kenapa?
Saya kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Trisakti. Alasannya karena pada saat itu saya tidak mau ikut Ospek (Orientasi Studi Pengenalan Kampus). Akhirnya saya survei, kampus mana yang fakultasnya memiliki jumlah mahasiswa paling banyak sehingga memungkinkan saya lolos dari kegiatan Ospek. Akhirnya pilihan jatuh pada Fakultas Ekonomi Manajemen Trisakti yang pada saat itu jumlah peminat bidang tersebut banyak sekali. Masa-masa itu kebetulan kegiatan Ospek di Indonesia sedang gila-gilanya, dan saat itu saya sudah mulai terjun di dunia model.

Tetapi kalau boleh jujur, sebenarnya saya ingin sekali kuliah di jurusan hukum atau psikologi. Tapi karena saat SMA saya masuk di kelas A3 (jurusan IPS), maka sebenarnya kesempatan saya hanya masuk di fakultas hukum.

Apakah pekerjaan pertama Anda?
Pekerjaan pertama saya itu ikut pemotretan untuk sebuah artikel, waktu itu saya pemotretan selama tiga jam sehingga saya mendapatkan bayaran sebesar 75 ribu rupiah. Jadi tahun 1992, usia saya masih 16 tahun, saya mendapatkan penghasilan pertama saya. Tapi kalau mau mundur lebih jauh lagi, saya ingat pernah membintangi iklan mie instan waktu kelas 1 SD, tapi saya tidak tahu berapa bayarannya, karena saat itu semua di urus oleh papa saya.

Sekarang Anda menjalani tiga profesi: sebagai pelaku dunia hiburan, penyiar radio sekaligus MC, dan juga Editor in Chief di majalah HELLO!. Dua pekerjaan di antaranya adalah dunia balik layar. Apa titik balik yang akhirnya membuat Anda memutuskan untuk terjun ke dunia balik layar?
Bagi saya, saya menjalankan karir saya itu melaui proses, bukan secara instan. Dimulai dengan saya menjadi model, lalu mendapat tawaran main sinetron, main film, lalu menjadi presenter, setelah itu saya mendapatkan menjadi penyiar radio, sekaligus terjun di dunia MC, dan yang terakhir adalah tawaran menjadi seorang Editor in Chief.

Dunia entertainment itu adalah dunia yang jenjang karirnya tidak panjang, walaupun saya pernah berakting dan suka, but I don't really enjoy the process. Really wasting my time. Saya tidak suka dan tidak sabar saat harus menunggu di lokasi. I don't like it. Selain itu saya juga merasa tertantang untuk melakukan hal yang lain, seperti menjadi penyiar radio atau presenter. Satu pekerjaan yang mengharuskan saya untuk berpikir lebih. Bukan saya mengecilkan dunia akting, tetapi mungkin memang bukan passion saya. Bagi saya berakting itu susah. Sementara di dunia balik layar, saya harus berpikir, menggunakan kemampuan saya dan saya menyukainya.

Pada dasarnya, kalau ditanya tentang cita-cita aku selalu ingin menjadi seorang penyiar radio. Kalau dulu pemikiran ceteknya adalah gue ngomong dibayar, apa nggak kurang enak hidup gue. Mengingat saya memang suka ngomong dan papa saya juga seorang penyiar radio, menjadi penyiar radio memang merupakan mimpi saya sejak dulu.

Saat saya mendapat tawaran menjadi Editor in Chief di HELLO! Indonesia saya sempat berpikir, ah gila kali gue kerja kantoran. Tapi di satu sisi saya juga berpikir bahwa saya mau “naik kelas”. Saya mau melakukan sesuatu yang bisa membuat diri saya sendiri bangga, membuat keluarga saya, terutama anak-anak saya bangga. Saya ingin melakukan sesuatu yang juga bisa menantang diri sendiri. Dan salah satunya menerima tawaran menjadi Editor in Chief. Kalau ditanyakan sulit, pasti. Beruntung suami saya mendukung penuh dan selalu memberikan semangat kepada saya.

Beruntung juga saya termasuk orang yang total saat melakukan sesuatu. So when I say yes to something, I will be total on it. Teman-teman saya sempat heran, mereka berpikir kenapa saya mau capek-capek kerja kantoran mengingat kasarnya penghasilan saya sekali menjadi MC tidak jauh dengan gaji sebulan yang saya dapatkan saat kerja kantoran. Tapi ada hal lain yang saya dapatkan saat saya menjadi seorang Editor in Chief. Menerima pekerjaan ini ibaratnya saya seperti sekolah lagi dan ini adalah pengalaman yang sangat mahal sekali harganya, belum lagi saya harus menambah kemampuan di berbagai bidang. Saya belajar dan mendapatkan pengalaman baru yang banyak sekali di sini. Termasuk kesempatan untuk menghadiri konferensi tingkat dunia dan melakukan presentasi di hadapan orang-orang dari berbagai belahan dunia tersebut.

Saya sadar posisi saya sebagai seorang public figure, tetapi saat saya mengiyakan pekerjaan sebagi Editor in Chief, saya juga tidak mau hanya sekadar menjadi pemanis aja. Saya membuktikan bahwa saya mengenal majalah yang saya pimpin dengan baik dan saya juga terlibat dalam berbagai proses di dalamnya. Mulai dari menentukan tema bulanan, menentukan artis mana yang harus diwawancara, ikut menulis berita, membuat cover, dan lain-lain.

Apakah Anda sempat terganggu dengan anggapan sebagai pemanis tersebut?
Tidak, karena saya tidak merasa harus membuktikan kepada siapapun. Saya hanya membuktikan ini kepada diri sendiri dan kepada keluarga. Seiring berjalannya waktu sekarang orang-orang di sekitar saya mulai menyadari bahwa saya memang benar-benar bekerja di balik layar. Pekerjaan di belakang layar ini justru yang membuat saya happy. Saya merasa sangat terisi. Merasa saya bisa melakukan hal-hal yang memberikan tantangan kepada saya.

Tiga pekerjaan, apakah saja tantangan yang dihadapi di setiap pekerjaannya?Kalau menjadi penyiar radio, tantangan terbesarnya adalah menjaga mood. Radio itu adalah theatre of mind dan menjadi penyiar radio itu harus mampu membuat seseorang stay tuned mendengarkan padahal orang yang berbicara ini tidak ada di hadapannya. Kalau boleh jujur, saat ada dua orang yang datang kepada saya, yang satu bilang bahwa dia suka sama aku karena sering melihat saya di layar kaca sementara yang satu bilang bahwa dia adalah pendengar setia saya, saya lebih happy kalau dia adalah penggemar setia saya. Itu happy banget rasanya. itu tandanya saya berhasil menjadi seorang penyiar radio.

Kalau menjadi seorang Editor in Chief, tantangan tersulit yang saya hadapi justru di awal-awal. Kendala terbesar saat saya harus mengatur banyak orang sebagai pemimpin mereka. Saya belajar bagaimana menjadi pemimpin yang baik, mengingat sebagai pemimpin saya pastinya tidak bisa menyenangkan semua orang. Tetapi saya harus bisa diterima oleh semua orang.

Ada juga masa saya harus membuktikan kepada tim saya bahwa saya di sini memang untuk bekerja, mengingat kemampuan saya jauh di bawah. Rata-rata mereka memang memiliki pendidikan dan terjun di bidang jurnalistik, tetapi saya harus mampu membuat mereka menerima bahwa saya adalah pemimpin mereka dan mau bekerja sama dengan saya.

Sementara itu di dunia hiburan dan presenter, I’ve been doing this since 1995, jadi kebanyakan sekarang klien mempekerjakan saya karena mereka ingin saya menjadi diri saya sendiri. Tidak ada aturan tertentu yang harus saya turuti. Jadi sudah tidak terlalu ada tantangannya lagi. Hmmm, oh ada satu tantangan terbesar di dunia selebritas ini, yaitu to stay slim. And I hate that. Hahaha.

Bagaimana dukungan keluarga terhadap karir Anda?
Dukungan mereka besar sekali. Terutama suami dan anak-anak saya juga. Dukungan dari keluarga besar juga tidak kalah besarnya. Mereka rela menjaga anak-anak saat saya sedang harus bekerja di luar kota, menghadiri rapat di sekolah mereka, menjaga anak-anak saat saya harus meeting sementara mereka sedang sakit sakit. Without them, I wouldn't make it.

Apakah anak-anak tidak protes karena mamanya bekerja?
Salah satu tujan saya bekerja memang untuk memperlihatkan kepada anak-anak bahwa saya terus berkarya dan melakukan sesuatu. Kebetulan saya dan suami sangat ingin saat anak-anak kami sudah dewasa mereka akan bekerja, berkarya dan berkarir, memperkaya ilmu dan juga tertantang melakukan sesuatu. Kami ingin memberitahukan juga kepada mereka bahwa pilihan profesi dalam bekerja itu banyak sekali.

Bagaimana cara Anda menyeimbangkan kehidupan sosial dengan pekerjaan?
Pada dasarnya saya tidak terlalu senang berkumpul dengan orang-orang baru. Kalaupun berkumpul, ya dengan teman-teman yang sudah saya kenal. Jadi menyeimbangkannya sangat mudah bagi saya. Terkadang saya malah hanya ingin berada di rumah dan menghabiskan waktu bersama keluarga, bersama anak-anak. Hanya satu hal yang saya rindukan dari semua pekerjaan yang saya jalani ini, saya cuma kangen tidur siang. Hahaha. Kalau masalah bergaul, jika ada waktunya, ya saya bergaul. Kalau tidak ad,a ya sudah tidak apa-apa. Yang penting saya bisa menghabiskan waktu bersama keluarga saya.


Foto: Dokumen Istimewa Majalah HELLO! Indonesia