Novita Angie: Pemimpin yang Ideal itu Harus Bisa Tegas

Article on Qerja.com, Star Leader. Novita Angie: Pemimpin yang Ideal itu Harus Bisa Tegas
Novita Angie:
Pemimpin yang Ideal itu Harus Bisa Tegas
by Syahrina Pahlevi


Diakui oleh Novita Angie bahwa pekerjaan sebagai seorang Editor in Chief memberikan satu pekerjaan rumah ekstra baginya. Dirinya yang sudah terbiasa dibantu untuk mengurusi berbagai macam jadwal kegiatan hariannya, kini harus bisa mengatur dengan baik jadwal terbit majalah HELLO! Indonesia yang dipimpinnya. Belum lagi ia juga memiliki satu tim redaksi yang juga harus ia jaga.

Kali ini kepada Qerja, Novita Angie bertutur tentang pandangannya terhadap seorang pemimpin yang ideal.

Berbicara mengenai posisi anda sebagai seorang Editor in Chief. Apa yang menjadi pertimbangan utama Anda saat merekrut seorang karyawan? Apakah karakternya, nilai akademik, atau kombinasi di antara keduanya?

Bagi saya yang pertama memang latar belakang pendidikan dan nilai akademiknya. Lalu setelah itu karakter yang dimiliknya. Setelah itu biasanya sih saya kerap mengandalkan insting saya terhadap orang tersebut. Beruntung di sini saya juga bisa meminta pendapat dari orang lain saat akan merekrut seorang pegawai. Saya dibantu oleh Managing Editor saya.

Kenapa saya membutuhkan pendapat orang lain? Karena saya itu pada dasarnya orangnya mudah dekat dengan seseorang. Kalau sudah begitu, posisinya penilaian saya bisa membias dan tidak fokus lagi. Oleh karena itu saya membutuhkan sekali pendapat dan juga masukan dari sisi lain. Belum lagi saya orangnya sering merasa tidak enakan dan bisa dibilang level toleransi saya terhadap seseorang itu tinggi sekali. Hal inilah yang menjadi satu kelebihan sekaligus kelemahan bagi saya saat harus merekrut seorang pegawai.

Kalau konsep mengenai atasan yang ideal itu menurut Anda seperti apa?

Setelah saya bekerja kantoran, saya sering berbincang dengan Mas Alex (Alexander Sriewijono, Psikolog - Red), lucunya adalah saat beliau mengomentari gaya kepemimpinan saya, Mas Alex bilang, "Ngie, setelah kita berteman sekian lama, gue menemukan sesuatu hal yang berbeda dan menarik dari lu. Gaya kepemimpinan lu beda dari orang-orang biasanya."

Saya tanya lagi, "Salah nggak, Mas?” Dia bilang, "Nggak apa-apa kok, Ngie. That's the way you lead. It’s ok." Karena menurut saya saat menjadi seorang pemimpin, saya juga harus nyaman. Walaupun pada dasarnya saya memiliki karakter yang emosional, tetapi saya tidak nyaman dengan gaya kepemimpinan yang harus marah-marah atau membentak-bentak orang.

I always try to put myself on somebody else's shoes. Saya tidak suka dimarahi oleh atasan saya, jadi sebisa mungkin juga saya tidak akan memarahi anak buah saya. Kalau memang masih bisa diarahkan baik-baik, ya sudah, lebih baik dibahas secara baik-baik saja. Kalau masih tidak didengarkan juga, mari kita cari cara lain untuk memberitahukannya. I always try to stay positive with my life.

Jadi bagi saya seorang pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang bisa dekat dan membuat timnya mau terbuka dengannya. Timnya bisa sampai di tahap nyaman berbincang dengannya. Tapi pada waktu yang bersamaan sosok tersebut juga harus bisa tegas. Nah, itu satu hal yang saya belum bisa lakukan, menjadi sosok yang tegas. Batas toleransi saya menjadi seorang pemimpin rasanya masih terlalu tinggi.

Karena kembali lagi, saya merasa dimarahi itu tidak enak, padahal pada kenyataannya memang tidak semua orang bisa diajak bicara secara baik-baik. Itu yang saya coba tanamkan sekarang, bahwa tidak semua orang bisa diajak bicara dengan baik-baik.

Belum lama ini di radio kami saya membahas tentang how to motivate your team. Sebagai seorang pemimpin, apa yang akan dilakukan saat tim Anda datang dan berkata bahwa dirinya tidak mampu melakukan hal yang ditanggungjawabkan kepadanya. Saat pertanyaan itu dilempar kepada saya, jawaban saya adalah saya akan bertanya, kenapa dan apa yang membuat dirinya tidak merasa mampu melakukan hal tersebut. Ternyata cara saya tersebut termasuk jarang dilakukan oleh seorang pemimpin, kebanyakan pemimpin akan melakukan enforcement pada si karyawan dan menegaskan bahwa dia pasti akan bisa melakukan hal tersebut. Tapi bagi saya dibanding melakukan satu pemaksaan atau penekanan, saya lebih baik berbicara dengan yang bersangkutan mengenai permasalahan yang dia hadapi.

Selama perjalanan karir, apakah Anda pernah melakukan kesalahan yang fatal?

Hmm, kesalahan fatal. Kalau sekadar salah menyebut nama acara, salah sebut merk, pernahlah itu pasti. Salah mengambil tawaran satu pekerjaan yang ternyata berimbas kepada karir, juga pernah. Tapi, pada dasarnya saya tidak pernah mernganggap itu sebagai satu kesalahan. Because I learn something from every mistakes, dan kita memang harus melalui hal tersebut. Saya belajar sesuatu sehingga saya tidak akan jatuh di lubang yang sama lagi nantinya. Lagipula rasanya memang tidak ada yang mulus-mulus saja dalam kehidupan.

Kalau pencapaian yang membanggakan bagi Anda?

Yang membuat saya merasa bangga… kalau boleh jujur ya, posisi saya sebagai seorang Editor in Chief. Saya bisa memberikan peran yang nyata dalam perkembangan majalah yang saya pimpin ini. Mengadakan acara besar, oplah majalah naik. Hal-hal tersebut membanggakan bagi saya. Menjadi seorang Editor in Chief itu benar-benar membuat saya mampu membuktikan bahwa saya mampu melakukan hal yang sebelumnya terlihat tidak mungkin bagi saya.

Tips dan trik saat Anda menghadapi karyawan dengan karakter yang berbeda-beda?

Saya selalu mencoba dekat dengan karyawan-karyawan saya sehingga saya bisa mengenal karakter mereka yang sebenarnya. Mengingat meng-handle pribadi setiap orang itu kan berbeda-beda ya caranya. Itu juga salah satu keuntungan yang saya dapatkan dengan menjadi dekat dengan tim saya.

Menurut Anda karakter karyawan seperti apa yang ideal?

Kalau mau dipukul rata, semua orang pasti mau karyawan yang patuh, sehingga semuanya akan aman-aman saja. Tapi bagi saya tidak juga seperti itu. Mendapat karyawan yang patuh-patuh saja. Come on, there is no such thing in life. Kalau semuanya mulus-mulus aja, itu bukan hidup.

Basically, saya adalah orang yang merasa jika hidup saya stabil-stabil saja, mulus-mulus saja, pasti akan ada sesuatu hal yang terjadi di depan. Di saat ada kerikil-kerikil dalam hidup saya, justru itu tidak apa-apa bagi saya. Karena jika Anda menjalani hidup yang serba mulus, lalu kemudian bertemu dengan hambatan yang kecil saja, itu akan menjadi berat bagi Anda.

Kalau menginginkan karyawan yang bisa bekerja sama dengan baik, ya pastinya. Tapi itu normatif sekali. Jadi bagi saya, karyawan yang ideal adalah karyawan yang bisa bekerja sama dengan baik, tetapi dia tidak sekadar seorang "yes man", namun juga bisa diajak berdiskusi. Bagi saya belajar itu tidak ada kata selesai, sehingga saya senang sekali jika mendapatkan tim yang bisa juga membuat saya mendapat berbagai ilmu baru. Bisa diajak berdiskusi itu juga penting, karena saat ada kesalahan yang terjadi mereka bisa saya ajak berdiskusi dengan baik.

Sebaliknya, karyawan yang tidak ideal?

Yang tidak bisa diajak kerja sama, dan tidak bisa diajak ngobrol. Wah susah deh, kalau sudah seperti itu.

Berbicara mengenai perkembangan industri media. menurut Anda bagaimana nasib media di Indonesia ke depannya. Terutama untuk media cetak?

Media di Indonesia akan maju sekali. Masyarakat Indonesia sudah melek media. Mereka update terhadap setiap perkembangan informasi dan juga trend yang ada.
Kalau untuk media cetak, akan berjalan lah untuk sekitar 10 tahun ke depan. Kenyataannya orang Indonesia itu masih lebih menyukai sesuatu yang ada bentuk fisiknya, seperti majalah. Masih jauh lebih menyenangkan membaca majalah secara fisik dibanding membaca lewat gadget. Tapi, ya tidak bisa dipungkiri bahwa sekarang semuanya mengarah dan bergerak ke era media digital.

Tantangan terbesarnya?

To survive, terutama untuk media cetak. Karena yang terjadi sekarang persaingan itu bukan antara satu majalah cetak dengan majalah cetak lain, tetapi antara satu majalah cetak dengan majalah digital. Persaingannya itu terjadi di dalam dua platform yang berbeda.

Kalau tantangan terbesar saat Anda mengelola HELLO! Indonesia?

Bagaimana saya harus bisa membuat majalah HELLO! Indonesia dikenal oleh orang banyak. HELLO! itu adalah majalah yang sangat besar sekali di luar negeri sana, di UK, US, dan Spanyol misalnya. Adalah satu tantangan yang sangat besar memperkenalkan HELLO! kepada masyarakat Indonesia, terlebih lagi majalah ini bisa dibilang cukup segmented. Hanya kelas-kelas tertentu saja yang mengenal HELLO!. Saat saya sudah memahami siapa sebenarnya pangsa pasar HELLO! tugas saya akhirnya adalah untuk menjelaskan bahwa majalah HELLO! juga ada di Indonesia.

Adakah tips yang harus dilakukan untuk seseorang yang ingin seperti Anda?

Wah, harus kuat iman, apalagi buat yang tidak terbiasa mengatur orang banyak. Itu yang paling susah. Dan juga harus kuat mental berhadapan dengan orang banyak.

Kalau Anda diberi kesempatan untuk memberikan nasihat kepada seorang Novita Angie di usia 20 tahun, apa yang ingin Anda katakan?
 

Ada bagian-bagian di dalam kehidupan saya, yang terkadang masih membuat saya berpikir kenapa saya melakukannya. Tapi saya bisa berada di posisi sekarang ini juga pastinya karena efek dan berbagai kesalahan dan juga keputusan yang saya ambil. Tapi, kalau memang mendapatkan kesempatan itu, hmmm... saya di usia 20 tahun, itu tepat 20 tahun yang lalu. Mungkin saya harus mengatakan bahwa saya seharusnya tidak mengambil kuliah jurusan ekonomi manajemen.

Kalau boleh sebenarnya mundur lagi saat saya masih duduk di bangku SMA. Saya akan bilang, supaya saya bisa belajar lebih serius lagi sehingga saya bisa masuk di kelas A1 (Biologi) atau A2 (Fisika) sehingga saya bisa menjadipPsikolog. Karena sebenarnya saya ingin sekali menjadi psikolog. Atau paling tidak, saya akan berkata supaya saya lebih serius lagi memikirkan bidang studi apa yang harus diambil untuk masa depan saya. Harusnya saya bisa lebih serius lagi mengikuti passion saya saat itu. Ekonomi manajemen is not my passion at all.

Mungkin juga saya akan mengatakan kepada diri saya untuk mengambil jurusan jurnalistik, jurusan penyiaran, mengingat saya juga memiliki passion dengan dunia tersebut. Jadi saya tidak sekadar memilih jurusan hanya karena tidak ingin mengikuti kegiatan Ospek.

Saya akan meminta diri saya 20 tahun yang lalu untuk lebih mengikuti kata hati saya.
 
Novita Angie dalam tiga kata?

Me in three words. Cheerful, pakai perasaan, dan total. Karena saya saat udah mengerjakan sesuatu itu total, makanya kalau ada apa-apa jadinya terbawa perasaan. Kalau cheerful, I think everbody can see that. Pembawaan saya memang sangat riang sekali.


Foto: Dokumen Istimewa Majalah HELLO! Indonesia

No comments:

Post a Comment