Twelve Cups Cafe, Twelve My Day

Inside the cafe
 
It was a lousy night, and I have nothing to do. Me, my sister and my sister's friend, we just try to killed our time in Penang. Some said that Penang is a food paradise, too bad it was a bit hard for me to find halal food here, so I just jump from one coffee shop to another and its such a bless that we arrived in Twelve Cups Cafe that night. Well, actually I already saw this coffee shops like three times, before I finally went inside. First thing came into my mind was "Oh My God this is so CUTE!" then I decided that we will spending our night here in this cafe. Another caffeine fix in my journey.

For a regular coffee shop, this place is quite big. Black and yellow are the main colors in there. They decorated the place very well, it was neat and cute with a bit touch of industrial look. They hanging some paintings and also some artistic wall decorations around the room. A big rickshaw in the left wall, written GOOD is main decoration in the cafe. The chairs look so comfy, and yes it was. If I live here, it's possible that this place will be the place where I spend my day. I can do my "me time" here I believe.

As soon as I reached to the cashier area, I asked what best thing they have in here. She said, that they are good for mille crepes. Then  I asked, what is the best mille crepes flavor here, she said Hokkaido Chocolate is the most popular one. Then, I ordered it. A cup of Cafe Latte along with one piece Hokkaido mille crepes. While my sister order their Tiramissu mille crepes, and her friend order same Cafe latte and Matcha mille crepes.

The latte, compare to other latte I had here, this one definitely the best latte I got in Penang. The bitter taste of espresso blend so well with steamed milk, it's a decent one. Plus it served in a red coffee cup and saucer. Very Nice. Cafe latte will be a good choice if you spend your night here.

For the mille crepes, Hokkaido is really the best one, no wonder this menu is all time favorite mille crepes in Twelve Cups. I'm not a sweet tooth person, but this mille crepes met my taste. It was sweet but I can feel a dash of pleasant savory taste on it, so I think that is the taste that make this mille crepes perfect for me. I tried the Tiramissu and Matcha mille crepes, they were also amazing.

The price, well it's fair for me. You can get a pice of mille crepes for 10.50 RM while a cup of latte is for 9.90 RM. This fine right. Will come back here again if I do another trip to Penang.

Cheers... (^_^)

THE TWELVE CUPS
Inside the cafe

Inside the cafe
Cashier area




Coffee, tea or me

Cute plate decorations

Hokkaido Chocolate Mille Crepes

Tiramissu Mille Crepes

Matcha Mille Crepes

Cafe Latte


Twelve Cups
12, The WhiteAways Arcade, Beach Street, 10300 George Town, Penang 
Contact : 04-262 6812 
Email : info@thetwelvecups.co
Operating hours: 10am-12am daily 
Instagram: thetwelvecups
Article on HELLO! Indonesia, Edisi Mei 2015. Rendy Pandugo
MEMUTUSKAN UNTUK BERKARIER SOLO
RENDY PANDUGO
TERUS BANGUN IMPIAN BERMUSIKNYA 
Lelaki kelahiran Medan 7 Mei 1985 ini mengaku jatuh cinta pada pandangan pertama dengan instrumen musik gitar sejak usia muda. Ia mulai mempelajari alat musik ini sejak duduk di bangku sekolah lanjutan. Karier bermusiknya di Tanah Air dimulai pada tahun 2010, saat ia bergabung dalam duo band Di-Da. Empat tahun kemudian, Rendy Pandugo pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan musiknya seorang diri. Kepada HELLO! Indonesia, Rendy menuturkan tentang keputusannya berkarier solo dan impian yang ia terus bangun dalam kariernya tersebut. 

Apa yang membuat Anda memutuskan untuk ‘jalan sendiri’ dalam bermusik? 
“Karena tenyata saya lebih suka mengerjakan proses kreatifnya sendiri, sehingga saya bisa mengembangkan ide tanpa perlu memikirkan apa yang ada di kepala orang lain. Walaupun dalam proses merealisasikannya pasti dibantu oleh orang lain, semuanya termasuk konsep ada dalam kendali saya. Agak sedikit egois dan idealis, tetapi itulah kondisi yang nyaman bagi saya sekarang.” 

Kapan Anda memulai karier bermusik Anda secara profesional? 
“Tahun 2010. Waktu itu saya bergabung dengan duo band Di-Da. Sempat merilis album juga pada tahun 2011 berjudul Duography.” Ada cerita menarik dalam perjalanan karier musik Anda? “Saat mengeluarkan album bersama Di-Da, saya kira semuanya akan berjalan lancar, tetapi kenyataannya justru berbeda. Situasi musik Indonesia sedang tidak bersahabat untuk genre yang saya dan Iddo bawakan. Kami sudah mencoba segala cara untuk band kami namun tidak berhasil, kami bahkan tidak mendapatkan panggung sama sekali. Saya sempat putus asa, tetapi untungnya saat itu juga saya membuat akun di Soundcloud, saya mengunggah musik saya di situ dan jujur itu yang menyelamatkan hidup saya. Saya masih bisa terus berkarya di situ.” 

Bagaimana rasanya menyandang gelar sebagai artis Soundcloud? 
“Walaupun follower saya lumayan banyak di Soundcloud, saya merasa sedikit aneh menyandang gelar ini...hahaha....” Mengenai julukan Anda sebagai “John Mayer” Indonesia? “Awalnya saya bersikap santai saja menanggapi julukan itu. Tetapi belakangan ini saya mulai terganggu. Karena semua hal yang dilakukan entah kenapa pasti akan dibandingkan dengan John Mayer. Tidak saya pungkiri bahwa saya memang sangat terinspirasi oleh dirinya. Saya bisa membawakan lagunya, persis seperti yang dia mainkan. Awalnya, saya adalah gitaris, bukan vokalis dan baru bernyanyi pada tahun 2011. Jadi sosok John Mayer yang mengajarkan konsep penyanyi yang bermain gitar dengan sangat baik.” 

Impian di dunia musik dan rencana album solo? 
“Mimpi saya tidak terlalu muluk. Mungkin terdengar sedikit klise, namun saya sangat ingin musik saya bisa didengar oleh banyak orang dan yang mendengarkannya akan menyukai karya saya tersebut. Karena buat saya, sukses itu sebenarnya adalah saat Anda bisa menginspirasi banyak orang, dalam bentuk apa pun. Saya juga pastikan tahun ini saya akan mengeluarkan album.”

Apa definisi seorang Rendy Pandugo? 
“Rendy...Rendy itu seorang yang kepikiran dan pemalu. Terkadang ketika saya bermaksud bercanda dengan orang lain, tiba-tiba saya merasa takut membuat orang tersebut tersinggung. Saya termasuk tipe yang pemalu karena sejak belajar musik, saya tidak dibentuk sebagai front man, saya hanya fokus pada permainan musik saya. Kini, saya harus menjadi seorang front man, semua perkataan saya diperhatikan oleh orang lain.”

Harapan Anda terhadap musik Indonesia? 
“Semoga di masa mendatang masyarakat Indonesia tidak lagi mengotak-kotakkan musik. Karena pada dasarnya makna dari musik itu sama. Terlebih lagi, musik itu adalah bahasa yang universal.”

TEKS: SYAHRINA PAHLEVI
FOTO: VANESSA BERNADETTE (082114169440)
PENGARAH GAYA: LISTYA DYAH
BUSANA: FRED PERRY
LOKASI: COMMON GROUNDS

Sumber: Majalah HELLO! Indonesia, May 2015 Edition
Rubrik: Starlet
Article on HELLO! Indonesia, Edisi April 2015. Restoran SIGNATURES
KULINER EKSOTIK DARI BUMI PERTIWI
Tema sejarah perjuangan bangsa secara kental menyelimuti restoran yang satu ini. Foto presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang terpampang dalam bingkai berukuran sangat besar pun menjadi salah satu elemen interior restoran yang terkenal menu bubur ayamnya tersebut. Kali ini Signatures Restaurant, Hotel Indonesia Kempinski menawarkan sajian eksotik sajian asli Nusantara.


Memiliki hobi membantu sang ayah sejak kecil adalah titik awal bagi chef asal Jawa Tengah ini mulai membangun mimpinya untuk terjun serius dalam dunia kuliner. Lepas masa sekolah lanjutan atas, Chef Prasetyo Widodo pun memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tinggi ke Balai Pendidikan dan Latihan Pariwisata (BPLP) NHI Bandung jurusan Perhotelan. Kariernya di dunia F&B dimulai saat ia mengikuti apprenticeship program di Grand Hyatt, Jakarta. Malang melintang selama 23 tahun di dunia masak-memasak ternyata membawanya untuk tetap mencintai masakan negeri, kali ini ia menyajikan tiga makanan dari tiga daerah di Indonesia, yaitu Bali, Manado dan Jawa Tengah.
“Masakan Indonesia itu sekarang sudah memiliki penggemarnya sendiri, tidak hanya orang-orang pribumi tapi banyak orang asing yang juga mulai melirik masakan khas Indonesia,” ujar chef yang pernah berjualan sup buntut dan sate di benua Eropa ini.
“Restoran Signatures ini memang bukan restoran yang menyajikan masakan khas Indonesia saja. Kami juga menyajikan masakan dari Cina, Jepang, India dan juga (masakan) Barat. Tetapi saya ingin sekali bisa makin menonjolkan unsur masakan Indonesia dibanding masakan lainnya,” lanjutnya.
“Itu juga alasan mengapa saya memilihkan tiga menu masakan khas Indonesia dari tiga daerah yang berbeda kali ini. Mengingat masakan Indonesia itu tergolong unik, setiap daerah memiliki ciri khas rasa yang berbeda-beda. Seperti masakan Ayam Woku yang pedas dari Manado, Sate Lilit yang gurih dari Bali dan juga Asem-asem Daging yang segar dari Jawa Tengah,” ujarnya bersemangat.
“Restoran ini merupakan bagian dari bangunan bersejarah bagi bangsa ini, saya ingin masakan saya juga bisa menjadi bagian dari kenangan akan sejarah itu. Kenangan akan sesuatu bisa dirasakan oleh semua indera yang kita miliki, jadi saya ingin kenangan rasa di lidah bisa memberikan kebahagiaan tersendiri bagi orang- orang yang datang ke Signatures Restaurant,” tuturnya menambahkan.
 
AYAM WOKU 
Bahan:
250 gram ayam, 10 ml air jeruk nipis, 50 gram serai, 50 gram tomat, 20 gram daun jeruk limau, 50 gram daun bawang, 100 gram cabai merah, 100 gram daun kemanggi, 10 gram gula pasir, garam secukupnya.
Bumbu yang dihaluskan:
150 gram bawang merah, 100 gram bawang putih, 150 gram cabai merah, 50 gram cabai rawit, 50 gram jahe, 50 gram serai, 10 gram kunyit.
Bahan pelengkap:
Nasi putih, bawang merah goreng, emping melinjo, daun kemangi, irisan cabai merah.
Cara membuat:
1. Rendam ayam dalam air jeruk nipis dengan garam selama 15 menit, sisihkan. 
2. Iris tomat, daun bawang, cabai merah, dan serai. 3. Panaskan minyak dalam wajan, masukkan bumbu halus, lalu tumis hingga harum. 4. Setelah bumbu mengharum, masukkan ayam, bumbu yang telah diiris, daun kemangi, serai dan gula. 5. Masak hingga air berkurang dan ayam matang. 6. Angkat lalu sajikan bersama dengan nasi putih hangat, bawang merah goreng, emping melinjo, dan kemangi serta irisan cabai merah.
SATE LILIT 
Bahan:
250 gram ikan tenggiri, 150 gram udang, 2 gram gula merah, 5 gram daun jeruk limau, 100 gram kelapa parut, garam dan lada secukupnya.
Bumbu halus:
50 gram bawang merah, 30 gram bawang putih, 20 gram kunyit, 25 gram kemiri, 10 gram terasi, 5 gram gula merah, 15 gram cabai merah, 2 gram daun jeruk limau, 50 gram serai, 30 ml minyak kelapa.
Bahan pelengkap:
Urap sayuran, sambal matah, acar, bawang merah goreng.
 
Cara membuat:
1. Panaskan minyak kelapa di dalam wajan, lalu tumis bumbu halus hingga matang dan harum. Sisihkan. 
2. Campur bumbu halus dengan daging ikan tenggiri, udang, kelapa parut, irisan daun jeruk limau, dan tambahkan garam dan lada secukupnya.
3. Lilitkan daging ikan dan udang di sekeliling batang serai. Lalu panggang hingga matang.
4. Sajikan dengan urap sayuran, sambal matah, acar, dan bawang merah goreng.
ASEM-ASEM DAGING 
Bahan:
300 gram daging sengkel sapi, 50 gram bawang merah, 30 gram bawang putih, 20 gram serai, 100 gram belimbing wuluh, 50 gram gula merah, 100 gram tomat, 50 gram cabai merah, 50 gram cabai hijau, 100 ml kecap manis, garam dan lada secukupnya.
Bahan pelengkap:
Nasi putih, bawang goreng merah, sambal cabai hijau, irisan jeruk nipis.
 
Cara membuat:
1. Rebus daging sapi hingga empuk, sisihkan.
2. Tumis bawang putih, bawang merah, serai hingga harum lalu masukkan ke dalam panci berisi daging dan kaldu sapi dari rebusan daging sapi.
3. Masak hingga kaldu mendidih, lalu masukkan cabai merah, cabai hijau, belimbing wuluh, gula merah dan tomat.
4. Tambahkan kecap manis. garam dan lada. Masak hingga matang.
5. Sajikan dengan nasi putih dan sambal hijau.

GINGER LEMONADE 
Bahan:
4 buah jeruk lemon, 3 sdm gula pasir, 100 gram jahe segar di parut, es batu, air mineral.
 
Cara membuat:
1. Peras air jeruk lemon, lalu campurkan dengan parutan jahe, kocok, kemudian saring.
2. Masukkan es batu ke dalam gelas, tuang air lemon dan air mineral.
3. Beri hiasan ceri merah dan irisan lemon.




 
TEKS: SYAHRINA PAHLEVI
FOTO: MULIA SEPTIARNI
LOKASI: SIGNATURES RESTAURANT, JL. MH THAMRIN NO 1. LOBBY LEVEL, HOTEL INDONESIA KEMPINSKI, JAKARTA PUSAT 10310.


Sumber: Majalah HELLO! Indonesia, April 2015 Edition
Rubrik: Resep
Article on HELLO! Indonesia, Edisi April 2015. Elvara & Jay Subyakto
RUMAH CAHAYA
ELVARA & JAY SUBYAKTO
BAGIAN SEJARAH HIDUP MEREKA BERDUA


Menyambangi rumah perancang busana Elvara serta sang suami yang merupakan salah satu seniman terbaik negeri, Jay Subyakto, HELLO! Indonesia dikejutkan oleh udara pegunungan yang seketika menerpa saat pintu gerbang town house tempat rumah mereka berada dibuka. Meski berlokasi di kawasan timur Jakarta dan tidak jauh dari pusat kota, hawa sejuk yang melingkupi rumah itu seakan-akan membawa kita ke daerah Puncak. Kepada HELLO! Indonesia, Elvara Subyakto menuturkan kisah rumah cahaya nan asri ini. 

CINTA PADA PANDANGAN PERTAMA
Sebuah bangunan berwarna abu-abu yang didominasi oleh warna hijau dari tumbuhan merambat yang tampak menjulur subur di sekitar rumah serta dinding kaca besar tampak menyambut kedatangan HELLO! Indonesia kali ini. Lukisan besar karya Eko Nugroho tampak menjaga lorong menuju pintu masuk rumah. Unsur baja dan kayu pun muncul menjadi dua unsur utama yang digunakan dalam rumah yang memiliki luas 450 meter persegi ini. Sang pemilik mengatakan bahwa ia dan keluarga memang belum begitu lama menghuni rumah tersebut, namun ia sudah jatuh cinta kepada rumah ini sejak pandangan pertama.

“Awalnya saya mengetahui tentang keberadaan proyek Tanah Teduh ini dari salah satu teman saya Yori Antar, seorang arsitek. Yori mengatakan bahwa sang pengembang, Ronald Akili sedang mengerjakan satu proyek town house unik, berbeda dari town house kebanyakan,” tutur Elvara membuka perbincangan sore itu. “Ternyata perbedaannya itu karena setiap rumah yang dibangun akan dikerjakan oleh arsitek yang berbeda, di antaranya yang saya tahu adalah Yori Antara, Adi Purnomo, Andra Matin, dan Antony Liu,” lanjutnya lagi.

Turut diundang dalam peluncuran proyek town house ini, Elvara sempat merasa kecewa karena ternyata sang pengembang belum akan menjual rumah-rumah di dalam kompleks Tanah Teduh ini. “Tetapi ketika tiba-tiba saya diberitahu bahwa rumah-rumah di Tanah Teduh akan segera dipasarkan, saya langsung membeli rumah ini, maklum saja saya sudah benar-benar jatuh cinta pada rumah ini sejak pertama kali melihatnya,” tuturnya lagi sambil tersenyum.

LIGHT & LIGHT HOUSE 
Pilar-pilar tinggi berwarna abu-abu, tangga metal dan juga dinding kayu berpadu apik dengan kolam kecil yang menghiasi sekeliling rumah yang diberi nama L&L House ini, kependekan dari Light & Light House. “Dinamakan Light & Light House karena rumah ini banyak disinari oleh cahaya alami dari alam. Kaca-kacanya juga besar, banyak ruang terbuka di atasnya dan juga ceiling yang tinggi. Rumah ini memang lain dari yang lain,” lanjut perempuan yang pernah mengenyam pendidikan di bidang fashion di London ini.

“Rumah ini saya beli dalam kondisi bangunan jadi, namun interior di dalam masih kosong. Akhirnya saya dan Mas Jay pun turun tangan sendiri untuk memilih perabotan yang akan mengisi dan juga menghiasi rumah kami. Mas Jay mendesain beberapa rak yang ada di dalam rumah, ada juga perabot yang saya pesan langsung dari Inggris,” jelas Elvara menambahkan. “Beberapa perabot juga kami beli di Jakarta, yaitu di Designclopedia. Kebetulan saya dan Mas Jay suka sekali dengan barang-barang yang dimiliki oleh mereka. Selebihnya hiasan di rumah ini adalah lukisan-lukisan, baik milik kami atau pun warisan dari ayah Mas Jay, beberapa benda seni hasil karya Mas Jay, barang-barang vintage, dan beberapa barang koleksi kami yang kami bawa dari rumah lama,” jelasnya.

SEJARAH DALAM RUMAH 
Memiliki suami seorang pelaku seni membuat Elvara belajar banyak tentang arti pentingnya sejarah, ia mengaku bahwa Jay selalu menekankan pentingnya sisi sejarah dalam rumah. “Meskipun rumah itu adalah rumah baru, tetap harus ada sentuhan sejarahnya. Mengingat rumah itu adalah bagian dari diri kita, jadi kita harus selalu menyertakan unsur-unsur yang sudah pernah kita lewati sebelumnya. Bagi kami, sejarah itu tercermin dari barang-barang seperti lukisan yang sudah ada sejak saya dan Mas Jay kecil, benda seni yang pernah dipamerkan oleh Mas Jay, buku-buku yang merupakan kombinasi antara buku fashion milik saya dan buku film serta musik milik Mas Jay,” ungkap Elvara sambil sesekali mengajak bercanda sang putri, Kaja Anjali Subyakto yang belum lama pulang dari sekolahnya.

Melihat ke sekeliling rumah, hanya satu foto yang dipajang di rumah ini, “Memang tidak terlalu banyak foto yang dipajang di rumah ini, karena kami tidak ingin rumah seperti rumah orang kebanyakan. Karena menurut saya, terlalu banyak foto malah bisa merusak estetika rumahnya.

Lagi pula dari dulu kami memang tidak pernah mengekspresikan sesuatu melalui foto, tetapi lebih memilih pernyataan diri lewat lukisan atau buku,” tuturnya lagi. Elvara juga mengaku bahwa ia dan suami memiliki kegemaran berburu benda-benda antik, hal ini terlihat dari banyaknya benda antik yang tersebar di sekitar rumah, mulai dari berbagai hiasan gantung kuningan yang berasal dari India yang menghiasi meja makan dan juga gantora dari Bali yang diletakkan di meja halaman belakang rumah. “Kami memang lebih memilih barang antik dibanding yang baru, karena takutnya terlalu sama desainnya dengan rumah orang lain. Hal ini membuat kami sering berburu benda- benda antik saat kami berada di luar kota atau pun luar negeri. Seperti misalnya jika kebetulan kami berada di Inggris, kami akan singgah ke Portobello, atau jika sedang mampir ke Solo kami mendatangi Pasar Antik Triwindu. Tempat yang terkenal dengan barang antiknya, rata-rata sudah kami kunjungi,” papar Elvara. “Tetapi meski kami menggemari barang antik, benda yang kami pilih selalu berhubungan dengan desain dan elemen utama rumah ini. Itu juga alasan kami tidak menyewa jasa desainer interior. Karena menurut kami, kami adalah orang yang lebih memahami rumah ini,” tuturnya lagi.

Berbicara tentang arti sebuah rumah, Elvara mengatakan bahwa baginya dan suami, rumah adalah gambaran jiwa. “Sebuah rumah bukanlah sebuah tempat, buatlah rumah ada di dalam jiwa dan pikiran kita, sehingga seluruh kenangan, cinta dan pembelajaran ada juga di dalamnya. Dengan demikian rumah akan selalu hadir kemana pun kita melangkah,” papar perempuan yang memulai kariernya di bidang seni pada tahun 1990.

LINI FASHION DAN PERSIAPAN KONSER 
Selain sibuk dengan kesehariannya mengurus rumah dan juga beryoga, Elvara Subyakto masih tetap disibukkan dengan kegiatan lainnya seperti mendesain baju yang merupakan label fashion miliknya sendiri, label Tiga. “Proyek ini kebetulan saya mulai dengan kedua saudara perempuan saya. Kami memasok hasil desain kami ke Alun-Alun Indonesia (salah satu department store di Jakarta- red),” ungkapnya. “Semua proses saya lakukan sendiri, mulai dari proses sketsa desain awal, pemilihan motif dan juga warna. Kebetulan juga kami memiliki workshop sendiri di bilangan Iskandarsyah,” paparnya.

“Sementara Mas Jay jauh lebih sibuk daripada saya. Mas Jay sedang mempersiapkan pertunjukan Teater Gandari bersama Gunawan Mohammad. Gunawan berperan sebagai penulisnya, sementara Mas Jay sebagai sutradara dan sutradara kreatif. Ia juga sedang mempersiapkan sebuah konser,” tutur Elvara sambil menutup percakapannya dengan HELLO! Indonesia sore itu.
 
TEKS: SYAHRINA PAHLEVI
FOTO: GANANG ARFIARDI
PENGARAH GAYA: LISTYA DIAH
PENATA RIAS: NITA JS (087883040818)

Sumber: Majalah HELLO! Indonesia, April 2015 Edition
Rubrik: Home Swet Home