Letkol Gogor Aditya Tentang Karir Militer: "Kalau Dari Awal Sudah Tidak Tangguh, Minggir Saja"
Article on Qerja.com, Star Leader. Letkol Gogor Aditya
Letkol Gogor Aditya Tentang Karir Militer:
Letkol Gogor Aditya Tentang Karir Militer:
"Kalau Dari Awal Sudah Tidak Tangguh, Minggir Saja"
by Syahrina Pahlevi
Menjadi seorang perwira Angkatan Darat memang menjadi cita-citanya
sejak kecil. Namun siapa sangka bahwa banyak juga konsekuensi yang harus
dihadapinya. Menjalani posisi sebagai seorang anak, kakak, suami,
komandan, dan juga abdi negara secara bersamaan tidaklah mudah. Belum
lagi berbagai tuntutan pekerjaannya di lapangan.
Kepada Qerja, Komandan Batalion Infanteri Mekanis 201/Jaya Yudha, Letnan Kolonel Infanteri Mohammad Imam Gogor A. Aditya berbagi tentang kisahnya terjun ke lapangan dan juga saat harus menjalani berbagai peran dalam satu waktu.
Kepada Qerja, Komandan Batalion Infanteri Mekanis 201/Jaya Yudha, Letnan Kolonel Infanteri Mohammad Imam Gogor A. Aditya berbagi tentang kisahnya terjun ke lapangan dan juga saat harus menjalani berbagai peran dalam satu waktu.
Menjadi seorang tentara, apa saja tantangan yang Anda hadapi?
Kalau sudah memilih menjadi seorang tentara itu maka sadar tidak
sadar, suka tidak suka, mau tidak mau, terpaksa tidak terpaksa hidup
kami itu sudah milik negara. Apapun yang akan dilakukan harus izin
terlebih dahulu. Bukan berarti profesi yang lain tidak harus izin,
tetapi saat menjadi seorang tentara walaupun izin sudah keluar, tapi
ternyata di hari tersebut ada tugas yang harus dilakukan, ya mau tidak
mau harus dilakukan dan izin harus dibatalkan.
Walaupun hanya sekadar untuk jalan-jalan saja harus tetap izin dengan
komandan. Kalau tidak dapat izin, ya tidak bisa keluar. Sudah tidak
bisa sebebas dulu lagi. Hidup kami itu sudah milik negara.
Kalau dulu zaman masih pangkat Letnan kadang saya masih suka kabur,
tetapi makin ke sini sudah makin mendarah daging dengan konsep tersebut.
Kalau dipikir-pikir juga buat apa. Sekarang saya justru sudah
menduplikasi orang-orang di sekitar saya untuk memahami kondisi saya.
Kemarin bahkan waktu adik saya Prita menikah, saya sudah hampir tidak
mendapat izin untuk menghadirinya. Bapak sudah tidak ada dan
satu-satunya orang yang bisa mendampinginya ya tinggal saya. Sementara
saat itu saya juga harus dinas 5 Oktober (Hari Tentara Nasional
Indonesia) di Cilegon, harus membawa pasukan kala itu. Sempat bingung
sekali harus bagaimana, walau pada akhirnya izin pun keluar hanya untuk
dua hari. Jadi setelah akad nikah dan resepsi saya langsung kembali ke
pasukan.
Tahun pertama sampai kelima memang sempat merasa, waduh kok hidup
saya seperti ini sekali ya menjadi seorang tentara. Tetapi semakin lama
semakin sadar, oh ya memang harus seperti ini. Kesulitan juga datang
saat saya harus membuat semua orang di sekitar maklum dengan kondisi
saya. Belum lagi saat akhirnya saya berkeluarga, saya juga harus membuat
paham tidak hanya istri saya, tetapi juga keluarga dari istri saya
mengenai kondisi kehidupan saya sebagai seorang abdi negara.
Sementara itu kalau di kedinasan, tantangan pekerjaan itu rasanya
semua sudah dipikirkan oleh negara. Kalau ada tantangan yang menghadang
mereka sudah pasti menyiapkan solusinya, kalau tidak atau belum ada
solusinya ya kami harus mampu untuk bertahan.
Sudah menjalankan karir di Angkatan Darat selama 17 tahun dan
menjadi Komandan Batalion di umur 38 tahun, titik balik apa yang
membuat Anda akhirnya benar-benar yakin bahwa menjadi seorang prajurit
memang jalan yang akan Anda tempuh untuk seterusnya?
Kembali lagi kepada kenyataan bahwa saya itu orangnya apatis, saya
hanya memiliki satu prinsip bahwa saat saya bekerja memang harus dari
hati saya. Saya itu selalu bekerja tanpa pamrih. Saya tidak pernah
mengerjakan sesuatu hal dengan baik hanya karena ingin melaporkan
hasilnya kepada komandan. Dari sejak pangkat saya masih Letnan Dua
hingga sekarang, saya tidak pernah melakukan hal tersebut. Nothing to lose, apakah pekerjaan tersebut bisa membuat saya naik pangkat atau tidak, semuanya saya kerjakan dengan sebaik-baiknya.
Kalau membahas tentang titik balik, ya Sesko (Sekolah Staff dan
Komando). Sesko itu benar-benar berat. Saya saya sangat bersyukur diberi
kesempatan satu kali tes bisa masuk pendidikan. Tahun 2012 itu umur
saya 35 tahun, kalau sampai saya gagal 3 kali berarti umur saya itu 37
tahun. Saya dulu sempat memiliki pemikiran, kalau memang saya mengikuti
ujian Sesko hingga tiga kali masih tetap tidak lulus, maka saya akan
mempertimbangkan untuk tidak berkarir di jalur militer lagi, ketimbang
saya tidak bisa berkarir secara maksimal. Mengingat belum tentu juga ada
kesempatan untuk ujian Sesko menghampiri lagi. Bagi saya umur saya
terlalu muda untuk disia-siakan. Kalau memang tidak bisa berkarir di
tentara, ya saya akan berkarir di tempat lain. Tidak ada masalah bagi
saya.
Saya bukan mencari pekerjaan hanya dari segi finansial, tidak. Saya
hanya ingin saya yang memang punya semangat untuk bekerja, bisa terus
bekerja dan juga membangun di bidang apapun yang saya lakukan. Kalau
nanti ke depannya kegagalan mengikuti, Sesko akan menjadi rintangan saya
untuk naik jabatan atau mendapatkan jabatan tertentu, ya buat apa.
Prinsipnya saya bekerja itu dengan tulus dan yang saya lakukan itu harus
berhasil. Saya ini orangnya tidak ambisius, tidak juga ngoyo. Kalau
memang saya sudah tidak bisa berkarya di tempat ini, ya sudah, sebaiknya
saya berkarya di tempat lain. Hal ini bahkan sudah sempat saya
komunikasikan dengan keluarga.
Nasib berkata lain, saya ternyata lulus ujian Sesko dan setelah itu
masuk menjadi Paspampres. Saya merasa sangat bersyukur karena sepertinya
passion saya juga di sana, setiap hari operasi, setiap hari
dinamika yang dihadapi juga berbeda-beda. Pekerjaannya sama tetapi
tantangannya berbeda. Saya pun berusaha menjaga momentum ini supaya bisa
terus maju.
Sebagai seorang Komandan Batalion, menurut Anda atasan yang ideal itu seperti apa?
Ideal, bagi saya kata ideal itu sangat relatif. Hal yang menurut saya
ideal belum tenti ideal bagi orang lain. Tetapi kalau di tentara bagi
saya atasan ideal itu yang pertama, dia mau memberikan ruang dan waktu
bagi bawahannya untuk membuktikan bahwa dia bisa bekerja dengan baik.
Kadang-kadang memang suka tidak sabar jika kita melihat bawahan yang
tidak bisa mengerjakan pekerjaan yang dibebnkan kepadanya. Tapi sebagai
atasan seharusnya bisa melihat dulu seperti apa sebenarnya karakter
bawahan Anda. Kasih mereka pekerjaan, lalu lihat seperti apa mereka
bekerja. Kalau memang jelek, ya tinggal diarahkan. Lama-kelamaan juga
akan bisa terbaca berapa kapasitas yang dimiliki oleh bawahan tersebut.
Kalau memang kapasitasnya cuma 70 persen, ya tidak bisa memberikan
pekerjaan dengan kapasitas 90 persen kepada mereka. Kalau kapasitas
mereka hanya 70 persen, berarti yang 30 persen itu adalah pekerjaan kita
sebagai atasan.
Bisa memberikan ruang dan waktu untuk mengoptimalkan potensi bawahan.
Saat bawahan tidak bisa melakukan, maka atasan harus membinanya, dan
juga mampu memahami bahwa bawahan membutuhkan bantuan untuk
menyelesaikan tugasnya.
Yang kedua, atasan yang ideal itu adalah orang yang bisa melaksanakan
aturan pada saat dibutuhkan dan bisa membijaksanakan aturan saat
diperlukan. Bukan menjadi terlalu fleksibel, tetapi bisa bijaksana saat
dia dihadapkan dengan kondisi lain yang menuntut dia tidak melakukan
aturan itu.
Seorang atasan di perusahaan bisa memilih bawahan seperti apa yang diinginkan. Paling tidak mereka bisa melakukan penyaringan kriteria melalui CV misalnya. Sementara sebagai seorang Komandan Batalion, bawahan yang Anda dapatkan itu sudah given dan selalu berbeda-beda karakternya di setiap lokasi penugasan. Nah, karakter bawahan favorit Anda seperti apa untuk bekerja?
Saya ini bukan tipe atasan yang setelah saya memberikan pekerjaan
saya tidak mau tahu kendala yang dihadapi oleh bawahan saya itu apa.
Saya termasuk tipe atasan yang terbuka, jadi saat saya memberikan
pekerjaan dan bawahan saya merasa mendapatkan kendala maka ia bisa
melaporkan kepada saya kendala apa saja yang ia hadapi.
Kalau sudah begitu kan saya tinggal memberikan arahan apa yang harus
dilakukan. Dengan begitu juga saya juga akan mampu memahami kapasitas
bawahan saya seperti apa.
Saya tidak pernah memilih bawahan, bawahan seperti apapun yang
diberikan pasti akan saya terima. Paling nanti saya tinggal menyesuaikan
saja. Kalau misalnya si A lebih cocok di tempat si B dan begitu
sebaliknya, tinggal saya tukar posisinya. Karena dengan begitu mereka
akan lebih optimal dalam pekerjaan mereka.
Salah satu contoh, misalnya saya dikasih supir, dan ternyata supir
tersebut kurang dapat bekerja dengan baik. Saya tidak akan langsung
menolaknya, saya akan mengajarinya supaya bisa bekerja dengan lebih
baik. Dengan demikian secara pribadi dia tidak akan merasa diremehkan
atau merasa tidak diakui keberadaannya. Dan yang kedua, kemampuan dia
jadi menjadi lebih meningkat.
Terkadang kalau ada orang baru datang itu akan mengubah semuanya.
Nah, saya tidak. Saya akan melihat terlebih dahulu kerja kamu seperti
apa, kalau kerja kamu bagus ya lanjut, kerja kamu tidak bagus, siapapun
dia mau dari Secapa, Secaba, atau Akmil, saya tidak ada urusan. Walaupun
dia dari Akmil kalau tidak bagus ya tidak saya pakai, sementara
walaupun dia dari Secapa tetapi bagus ya saya pakai. Begitu juga
sebaliknya.
Selain bisa mengikuti perintah dengan baik, saya juga suka jika bisa
memiliki bawahan yang gemar berinovasi. Jadi tidak sekadar mengikuti dan
menjalankan apa yang diperintahkan, tetapi juga mengembangkan hal
tersebut menjadi sesuatu yang lebih berguna bagi dirinya.
Misalnya begini, saya mau anggota saya bisa lari menempuh jarak 3.200
meter dalam waktu 16 menit. Saya perintahkan mereka untuk lari setiap
hari. Perintahnya jelas dan dilaksanakan. Bagi saya setiap hari mereka
latihan lari itu sudah bagus, sudah sesuai perintah, tetapi orang yang
berinovasi dia tidak hanya akan berlari, dia akan melatih untuk
menguatkan kakinya, lalu dia juga menguatkan tangannya, supaya pada saat
dia lari tangannya tidak mudah letih dan kakinya juga lebih kuat.
Apakah ada kesalahan yang pernah Anda lakukan dalam berkarir?
Kalau di kedinasan, apa ya? Saya bisa sampai di posisi saya sekarang
sebagai komandan ini berarti kan saya juga pernah menjadi staff dan
komandan bawahan. Dan saya selalu menyesuaikan kondisi tersebut. Saat
saya menjadi staff, berarti saya tidak punya kepribadian karena semua
keputusan ada di tangan komandan. Kalau pada saat saya menjadi komandan
staff, saya selalu memiliki pemikiran bahwa saya adalah seorang komandan
dan apapun risikonya harus saya ambil.
Sementara itu kalau di tugas operasi, Alhamdulillah hingga saat ini
saya belum pernah melakukan kesalahan yang fatal sampai membuat anggota
harus tertembak atau bagaimana.
Kalau di homebase, Alhamdulillah belum ada. Ya, kalau sampai
yang fatal sih tidak ada, tapi saya juga pernah menerjemahkan perintah
komandan, seharusnya begini tetapi saya mengartikannya lain. Terkadang
juga kesalahan yang diperbuat ternyata bisa juga membawa kita kepada
satu pembelajaran baru yang bisa membuat saya melakukan evaluasi kepada
kinerja saya ke depannya.
Kalau mengenai pencapaian yang pernah Anda lakukan selama berkarir?
Di masing-masing level ada hal yang membuat saya merasa bahwa itu adalah sebuah prestasi bagi saya.
Salah satunya saat saya menjadi Komandan Kompi (Danki) di Kariango.
Saya ditempatkan di kompi yang paling lemah dalam satu batalion, kompi
yang ditinggal dalam kondisi yang tidak bagus. Anggotanya belum memiliki
kerangka yang kuat dan kepercayaan diri mereka juga kurang sekali.
Saya akhirnya berpikir, kira-kira apa yang bisa saya berikan kepada
mereka, supaya kompi ini memiliki satu kebanggaan. Apa kebanggaan bagi
mereka, ya itu adalah prestasi. Saya lalu melatih mereka, pagi hari saat
yang seharusnya kompi melakukan apel pagi, kompi saya tidak apel pagi.
Dari subuh mereka semua sudah latihan. Orang latihan di jalan, kami
latihan di pasir. Saya sampai berani ambil keputusan bahwa apel itu
tidak jam tujuh pagi tapi jam sembilan pagi. Saat ditanya oleh komandan,
saya bilang bahwa mereka (pasukan kompi) sedang latihan dan nanti akan
melakukan apel pada jam 9 pagi. Alhamdulillah pada saat mereka mengikuti
satu kegiatan regu tangkas, di mana setiap kompi harus bertanding mulai
dari olahraga voli, sepakbola, renang, panjat tebing, menembak, dan
juga halang rintang, ternyata mereka menang. Itu juga sempat membuat
kompi lain kaget, karena kompi saya bisa dibilang underdog.
Kami ikut serta di lomba Ton Tangkas (Peleton Tangkas) dan kompi kami
menang. Terakhir kami mengikuti POR (Pekan Olahraga) Kompi, ada 17
Kompi dan waktu itu kami meraih juara pertama. Bagi saya itu adalah satu
pencapaian.
Pernah juga waktu itu saya masih memegang pangkat Kapten, saya adalah
orang pertama yang melatih pasukan dalam jumlah besar yaitu 500 orang
untuk melakukan demonstrasi Yong Modo di hadapan pak SBY dan itu
termasuk sukses, mengingat sampai sekarang Yong Modo itu menjadi
beladiri wajib di TNI AD.
Pencapaian yang terakhir itu, saya sangat bangga bisa ikut
mengamankan lambang negara ini (Presiden). Itu merupakan salah satu
pencapaian terbesar bagi saya.
Kalau pencapaian operasi di lapangan?
Kalau di lapangan, operasi pertama saya di Papua di perbatasan. Waktu
itu pangkat Letnan Dua langsung dapat penugasan ke perbatasan. Saya
bertugas selama 14 bulan di sana, 6 bulan pertama saya bertugas di
Torai, perbatasan Merauke ke Papua Nugini. Kemudian saya pindah ke Tanah
Merah, posisinya lebih naik lagi ke atas. Operasi di sana sangat
berkesan, karena posisi yang jauh dan tidak apa-apa. Belum lagi pada
saat itu komunikasi masih sangat susah dan terbatas. Kalau komunikasi ke
rumah itu satu bulan sekali, waktu itu juga belum ada HP.
Lalu berlanjut ke operasi di Aceh, yaitu pengepungan di Desa Cot
Trieng. Kami adalah salah satu pasukan yang masuk pertama ke sana dengan
total sebanyak 36 orang anggota.
Terakhir saat saya bertugas di Freeport. Kami bertugas mengamankan
objek vital nasional, waktu itu undang-undangnya pengamanan objek vital
nasional masih di TNI ya.
Menjadi tentara, hal apa yang bisa memberikan kepuasan bagi Anda?
Kepuasan seorang tentara itu ada saat semua misi bisa dijalankan dengan baik. Harus mission accomplished, karena bagi kami tugas itu sebuah kehormatan.
Siapa yang memberi dukungan terbesar bagi Anda?
Dari istri dan juga keluarga. Semangat saya ya istri saya, Irma.
Semangat saya juga adalah ibu dan kedua adik saya Nisa dan Prita. Ibu
yang memang awalnya menentang tapi akhirnya menerima dan sekarang
menjadi salah seorang pemberi dukungan terbesar bagi saya.
Istri saya, dia adalah pegangan saya. Secuek-cueknya dia terhadap
pekerjaan saya tetapi dia tetap menjadi pegangan dalam kondisi apapun.
Walaupun saya tidak pernah bercerita tentang pekerjaan, karena bagi saya
apa yang terjadi di kantor tidak akan masuk ke rumah, begitu juga
sebaliknya.
Kalau berbicara tentang masa depan. Kira-kira sekitar 5-10 tahun ke depan Anda akan berada di posisi apa?
Nah itu dia, karena tadi saya sudah bilang bahwa saya ini orangnya nrimo,
maka saya itu orangnya berpikir logis. Lima tahun kalau sesuai dengan
rencana saya paling tidak pangkat saya sudah berubah. Saya juga akan
berusaha supaya jabatan saya bisa sesuai dengan passion yang saya miliki, karena saya yakin jika bekerja dengan passion pasti hasilnya akan jauh lebih optimal. Itu saja yang saya inginkan.
Tetapi kembali lagi kalau berbicara mengenai jabatan tidak ada yang
bisa menyangkanya. Siapa sangka seorang wadan Dodikjur bisa ikut Sesko,
atau seorang Pasi Korem bisa menjadi Danyon. Saya benar-benar santai
menjalankannya. Saya selalu ingat nasihat yang diberikan oleh pak SBY,
beliau bilang janganlah kamu besar karena jabatanmu, tapi besarkanlah
jabatanmu itu. Dan saya benar-benar menerapkan hal tersebut.
Saya memang belum bisa membuat semua orang berdecak kagum karena
prestasi saya sebagai seorang Angkatan Darat. Tetapi itu tidak masalah,
rasanya cukup orang-orang di sekeliling saya saja yang bilang,
"Kerjaanmu bagus, Gor." Itu saja saya sudah senang. Yang terpenting
sekarang saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa militer adalah industri dan juga
profesi yang keras untuk dijalankan. Apa saran Anda bagi orang yang
ingin terjun menjadi tentara?
Banyak orang yang berpikir menjadi tentara itu keren. Itu salah
besar. Yang benar adalah menjadi tentara itu berat. Jangan pernah Anda
masuk ke militer hanya dengan niat supaya menjadi keren. Niat pertama
haruslah tangguh. Kalau dari awal sudah tidak tangguh, ya lebih baik
minggir saja.
Kalau tadi saya sempat bilang mau keluar, itu bukan karena tidak
tangguh, saya itu mau keluar bukan mau minggir. Minggir itu hanya
ikut-ikutan saja, jabatan di situ-situ saja juga tetapi tetap
ikut-ikutan. Hasilnya lama-lama akan terpinggir juga. Saya tidak pernah
mengecilkan orang yang seperti itu, semua memiliki jalannya
masing-masing, tetapi sebagai pribadi saya tidak bisa seperti itu. Saya
mau tetap energik, saya mau tetap bekerja. Apapun itu. Mau jadi satpam
ya sudah. Yang penting saya bisa tetap berkarya. Pujian yang muncul dari
orang bukanlah tujuan akhir saat saya bekerja.
Apakah ada isu yang perkembang di masyarakat dan menjadi perhatian Anda?
Saya ini orangnya agak terlalu apatis dengan isu-isu yang berkembang,
karena bagi saya hal-hal seperti itu pasti sudah ada yang mengurus.
Saya justru lebih tertarik pada akar permasalahan yang menurut saya
adalah penyebab semua isu-isu yang sekarang berkembang itu bisa terjadi.
Menurut saya akarnya itu bukan disebabkan oleh pemerintah atau
siapapun melainkan karena tingkat disiplin yang rendah sekali di
masyarakat. Kenapa sekarang banyak sekali anak muda yang menggunakan
narkoba, menurut saya itu karena dari muda mereka tidak bisa disiplin.
Bagi saya, orang yang mengalami pendidikan dengan disiplin yang tinggi
sejak kecil, lalu selesai pendidikan SMP saya sudah harus tingal jauh
dari orangtua, saya prihatin melihat anak-anak muda sekarang. Sangat
prihatin.
Misalnya saya sekarang, iseng melempar batu ke jalanan, pasti akan
ada kepala yang bocor terkena lemparan batu tersebut karena tidak
menggenakan helm. Mulai dari masalah kecil seperti itu, menuruti
peraturan untuk naik motor yang baik saja tidak bisa. Itu adalah hal-hal
yang menurut saya menyebabkan Indonesia kehilangan jati dirinya.
Hilangnya kedisiplinan dan juga karakter dari sosok para pemudanya.
Coba saja lihat sekarang banyak anak-anak di tingkat sekolah menengah
atas yang tidak tahu tata krama saat diajak berbicara oleh orang yang
lebih tua. Saya saja belum lama ini baru saja memulangkan anak PKL di
Batalion ini. Mereka bersikap sangat apatis, ditanya siapa kepala
sekolahnya jawabannya tidak tahu, ditanya apa yang ingin kalian dapatkan
di sini jawabanya juga tidak tahu. Setelah mereka beberapa hari di sini
ternyata sikap mereka tetap tidak berubah, akhirnya saya kembalikan ke
sekolah sebelum saya lebih marah lagi.
Saya juga selalu menekankan pendidikan moral kepada seluruh pasukan
saya di sini. Saat mereka keluar dari kesatuan, semua harus memakai
helm. Tentara itu harus punya SIM, jadi saat kebetulan ditilang mereka
bisa menunjukkan SIM resmi mereka, tidak hanya sekadar bilang "saya
anggota". Saya juga sedang menggalakkan program supaya orangtua yang ada
di kesatuan saya melarang anaknya yang masih di bawah umur untuk
mengendarai motor sendiri.
Saya yakin bahwa permasalahan-permaslahan yang terjadi di masyarakat
itu juga merupakan salah satu imbas dari orangtua yang lupa memberikan
pendidikan kepada anak-anaknya di rumah. Lupa memberi tahu bahwa kamu
itu adalah seorang anak, harus bisa bersikap sopan kepada yang lebih
tua, lupa juga mengajarkan dan menanamkan kepada anak-anaknya bahwa ada
aturan-aturan tidak tertulis yang wajib mereka taat saat bermasyarakat,
seperti mengantre, misalnya.
Nah, rasanya kok harus sudah ada yang lebih mengurusi hal tersebut,
ya. Terlebih jika dikaitkan dengan bonus demografi yang akan dimiliki
oleh Indonesia pada tahun 2020 nanti, akan banyak anak muda di negara
ini. Saya concern sekali saat melihat anak-anak kecil tidak
bisa sopan terhadap orangtuanya, gaya berbicaranya juga seenaknya. Oleh
karena itu, kemarin dalam rangka memperingati Hari Pahlawan saya
mengadakan lomba mewarnai dan mengarang hari pahlawan untuk 15 sekolah.
Ke depannya juga saya ingin bekerja sama dengan Kemendikbud supaya
banyak sekolah yang melakukan kunjungan belajar ke Batalion ini. Nanti
di sini mereka akan diajarkan bagaimana cara disiplin yang baik,
mengenai tata krama terhadap orangtua dan bagaimana mencintai alam.
Jika diberikan kesempatan untuk menemui sosok Gogor Aditya saat masih berusia 20 tahun, apa yang akan Anda katakan kepadanya?
20 tahun itu saya masih di Akademi Militer. Saya akan bilang hal yang
sama yang dulu pernah dinasihatkan oleh bapak saya kepada saya. Masalah
idealisme. Beliau pernah berkata, jangan terlalu membawa idealismemu
itu kalau kamu tidak terlalu kuat. Kenapa saya akan mengatakan hal
tersebut, karena saya merasa terlambat menyadari seberapa kuat idealisme
saya.
Saat masih Letnan Dua saya masih menggebu-gebu melawan, padahal itu
justru merugikan. Saya harusnya bisa lebih fleksibel. Bapak sudah
menasihati bahwa saya harusnya bisa menyusun semuanya dengan lebih baik.
Beliau mengibaratkan dengan jika saya melakukan perjalanan membawa
beban sebesar 100 kilogram menempuh 100 kilometer. Kalau memang kuat
membawa beban sebanyak itu sampai akhir, ya silakan saja. Tapi kalau
merasa di jarak berapa kilometer harus mengurangi jumlah beban tersebut,
sebaiknya saya mengurangi beban itu dari awal. Saya seharusnya bisa
mengukur seberapa kuat barang yang akan saya bawa dari awal sampai akhir
tanpa mengubah jumlahnya, sehingga saya tidak akan rugi membuang tenaga
berlebih di awal.
Seorang Gogor Aditya dalam tiga kata?
Gogor Aditya itu tegas, lalu saya ramah, dan saya juga tulus. Tidak
pernah saya tidak tulus terhadap orang. Maksudnya saya tidak penah punya
niat macam-macam terhadap orang lain.
Link: Qerja.com
Baca Juga:
No comments:
Post a Comment