Article on HELLO! Indonesia, Edisi Oktober 2015. Davina Veronica
Kecintaan yang Membuat Davina Veronica Memperjuangkan Keadilan Bagi Satwa

Davina Veronica, sosok cantik ini lebih dikenal oleh masyarakat luas sebagai seorang model. Perempuan yang memulai karier di dunia model pada tahun 1995 ini mengakui bahwa kecintaannya kepada hewan sudah dipupuk oleh keluarganya sejak kecil. Dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Binatang yang di peringati setiap tanggal 15 Oktober, kepada HELLO! Indonesia ia pun menuturkan keinginannya bisa menghadirkan keadilan bagi satwa. 



Berbekal akan kecintaannya terhadap hewan peliharaan, Davina Veronica kini menjadi salah satu aktivis perlindungan hewan yang paling giat di negeri ini. Ia meyakini bahwa menyelamatkan hewan sudah menjadi panggilan hidupnya. Rasa sayang yang ia miliki untuk hewan terkadang dianggap berlebihan oleh orang- orang di sekitarnya. Namun kini ia bahagia bisa menjadi salah satu perpanjangan suara hewan-hewan yang mendapatkan perlakuan semena-mena oleh manusia. 

BE VOICE FOR THE VOICELESS 
Anak sulung dari dua bersaudara pasangan Guntur Hariadi dan Patricia Gontha ini mengaku bahwa ia sudah meninggalkan dunia keartisannya. Perempuan yang telah terjun di dunia hiburan Tanah Air lebih dari 15 tahun ini mengaku bahwa tahun 2009 menjadi titik balik bagi dirinya. “Sudah cukup rasanya saya berkarier di dunia hiburan Tanah Air, wajah-wajah baru yang lebih muda pun kini sudah bermunculan dan memang itu adalah hukum alam yang pasti terjadi. Saya sudah berada dalam babak baru kehidupan saya, dan saya memilih untuk mengembangkan usaha saya sendiri dan juga fokus di kegiatan sosial, untuk alam sekitar dan juga hewan,” tutur perempuan cantik ini membuka percakapan dengan HELLO! Indonesia pagi itu. Sekarang, kegiatan sehari-harinya diisi dengan kegiatan mengelola usaha rumah batik yang tengah dibangunnya bersama dua orang temannya. Selain itu ia juga disibukkan dengan perannya sebagai seorang CEO dari sebuah yayasan non-profit yang bergerak di bidang perlindungan satwa lokal, Garda Satwa Indonesia (GSI). “Tidak hanya GSI, hingga kini saya juga masih aktif menjadi Duta WWF Indonesia. Saya sering melakukan kunjungan ke area konservasi WWF Indonesia. Dengan melihat dan terjun langsung menangani isu-isu yang mereka tangani,” lanjutnya bersemangat. 

Sosok yang biasa melenggak-lenggok cantik di atas catwalk ini sangat bersemangat saat bercerita tentang keberadaan GSI dan juga perannya di GSI. Davina mengaku bahwa organisasi perlindungan hewan ini lahir dari komunitas para pecinta hewan yang berkumpul dan saling bertukar informasi. “Awalnya saya dan teman-teman hanya membuat grup chatting. Sampai akhirnya kami merasa bahwa rasanya diperlukan satu wadah yang bisa menjadi tempat berlindung para hewan. Lalu akhirnya tercetuslah Garda Satwa Indonesia,” tutur Davina. GSI pun berhasil terwujud pada tahun 2011. Organisasi ini pun menyatakan diri bahwa mereka adalah suara bagi para hewan yang tidak mampu menyuarakan hak-hak mereka. “We are the voice for the voiceless,” lanjut Davina tegas. Tahun 2014, GSI pun akhirnya resmi berdiri menjadi satu yayasan berbadan hukum yang membela hak-hak hewan, khususnya hewan peliharaan yaitu kucing dan anjing. 

Terjun secara langsung di dunia perlindungan satwa, Davina merasa marah sekaligus sedih menemukan fakta bahwa manusia adalah ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup para satwa. “Hidup para hewan itu sederhana, kok. Mereka hanya mencari tempat untuk berlindung ketika panas dan hujan, dan mencari makan hanya untuk sekadar bertahan hidup. Ya, sesederhana itulah kehidupan mereka,” lanjut perempuan yang juga pernah bermain dalam film Badai Pasti Berlalu. Sosok manusia yang seakan menjadikan spesiesnya sebagai satu mahluk hidup superior dibanding dengan makhluk hidup lainnya di atas muka bumi ini jelas menganggu pikiran perempuan berdarah Jawa–Manado ini. “Selalu merasa berkuasa dan merasa bahwa dunia ini milik manusia sendiri. Padahal kan tidak seperti itu. Kita seharusnya menyadari bahwa bumi ini adalah milik bersama. Ada makhluk hidup lain yang juga mendiami bumi ini dan memiliki hak yang sama di dalamnya,” tuturnya tegas. “Manusia seharusnya berterima kasih kepada keberadaan hewan dan juga tumbuhan. Karena tanpa mereka, saya pastikan bahwa manusia tidak dapat bertahan hidup. Namun sebaliknya, tanpa kehadiran manusia, kehidupan hewan dan tumbuhan akan baik-baik saja. Please respect them! Mengingat kita juga mengambil begitu banyak dari tumbuhan dan juga hewan,” tandasnya bersemangat. 

DUKUNGAN BERBAGAI PIHAK 
Berbagai macam kasus penganiayaan hewan yang semakin kerap terjadi sungguh menganggu batin dan juga pikiran perempuan yang kini telah menjadi seorang vegan ini. Mengedukasi publik pun dipilihnya sebagai cara untuk menyelamatkan hewan-hewan tersebut. “Untuk bisa membuat satu perubahan maka orang- orang harus mengerti terlebih dulu apa yang sedang kami perjuangkan. Karena, walaupun sudah gembar- gembor, percuma saja apabila mereka tidak memahami apa yang kami maksud,” ungkap Davina. 

The greatness of a nation and its moral progress can be judged by the way its animals are treated. Kutipan dari tokoh kemanusiaan dunia Mahatma Gandhi telah menjadi salah satu panutan utama perempuan yang sudah memiliki hewan peliharaan sejak usia lima tahun ini. “Kalau kita sudah bisa menghargai keberadaan hewan, kita pasti sudah berada di tingkatan manusia yang bijaksana sekali. Tapi kalau boleh jujur, permasalahan HAM di Indonesia hingga kini masih saja belum tuntas, apalagi permasalahan terhadap Hak Asasi Hewan,” lanjutnya sambil tertawa miris. “Saya ingin sekali bisa melibatkan semua pihak untuk menyelamatkan para hewan. Saya pun tengah berusaha untuk menggandeng pemerintah, mengingat mereka adalah pihak yang memiliki kekuatan untuk membuat peraturan di negara ini,” lanjutnya lagi. 

INGIN BISA MENYELAMATKAN SEMUANYA
Tingginya angka penganiayaan hewan pun berimbas dengan hadirnya berbagai cerita memilukan yang dialami oleh Davina saat menyelamatkan mereka. Salah satunya saat ia harus menyelamatkan seekor anjing jenis golden retriever bernama Max. “Diawali dengan masuknya laporan pada saya akan keberadaan seekor anjing golden retriever yang ditelantarkan oleh sang pemilik. Saya pun akhirnya datang ke lokasi tersebut bersama dua orang teman saya, yang satu seorang pengacara dan satu lagi dari organisasi perlindungan satwa lainnya. Saat itu kondisi Max sudah sangat memprihatinkan, hanya tinggal tulang berbalut kulit. Rasa marah dan sedih rasanya campur aduk di dada saya,” ceritanya geram. Beruntung tidak lama setelah diselamatkan oleh GSI, Max pun mendapatkan rumah baru yang layak baginya. 

Hingga kini di dalam lubuk hatinya Davina menyimpan cita-cita agar GSI dapat menyelamatkan semua hewan yang mereka temui, namun keterbatasan sumber daya manusia, tempat dan juga biaya menjadi hal yang benar-benar tidak bisa dihindari olehnya. “Namun kami tidak akan menyerah, kami akan terus melebarkan sayap kami untuk menolong mereka,” tuturnya sembari tersenyum simpul. Doa Davina pun terjawab, niat baiknya untuk menyelamatkan hewan-hewan tidak berdaya ini mendapat dukungan dari berbagai pihak. Beberapa dokter hewan dan juga vet (klinik hewan – Red) bersedia untuk bekerja sama dengan GSI. “Kami juga beruntung ada dua orang donor yang membebaskan kami untuk membawa hewan-hewan yang kami selamatkan ke dokter hewan yang mereka tunjuk, sehingga kami bisa dengan leluasa berobat ke sana. Kami benar-benar sangat bersyukur,” lanjut Davina. 

COMPASSION IS THE KEY 
Ditanya mengenai harapan yang ia miliki terhadap nasib para hewan di Indonesia, Davina dengan cepat menjawab bahwa ia hanya ingin manusia bisa menyayangi dan juga lebih menghargai keberadaan hewan di muka bumi ini. “Mereka juga memiliki hak hidup yang sama dengan manusia di atas bumi ini. Kalau memang tidak suka, just leave it that way. Tidak perlu menyakiti hewan-hewan itu,” tuturnya lagi. “Orang-orang sudah terlalu kejam dan niat sekali menyakiti hewan. Saya pernah menemukan kasus hewan kakinya sengaja dibacok, kucing yang kakinya dililit karet gelang hingga kakinya putus, atau badannya dililit lakban hingga terlihat kepalanya saja. Itu benar-benar sudah di luar batas kewajaran,” lanjutnya geram. 

Compassion, satu kata yang diyakini oleh Davina bisa membuat keberadaan hewan di Indonesia lebih baik. “Berbelas kasihanlah kepada hewan. Bumi ini milik bersama. Jangan hanya karena kita bisa menciptakan mobil, kapal, atau pesawat terbang, lalu kita menyatakan manusialah yang paling berkuasa. We without animals and natures are nothing!” tegasnya lagi. Pondasi dalam keluarga pun diyakini oleh Davina menjadi salah satu faktor terpenting terbentuknya rasa belas kasih terhadap hewan. “Jika sejak dini keluarga mengajari untuk tidak hanya saling menyayangi kepada manusia tetapi juga pada seluruh makhluk hidup, saya rasa semua manusia akan memiliki rasa kasih sayang dan juga belas kasih kepada mahluk hidup lainnya di bumi ini. Termasuk kepada para hewan,” kata Davina menegaskan. 

TEKS: SYAHRINA PAHLEVI
FOTO: DAVID HASUDUNGAN (081389933808) & INSTAGRAM
PENGARAH GAYA: LISTYA DIAH
TATA RIAS & RAMBUT: AURELIA (087774537996)
BUSANA : FOREVER NEW, MANGO LOKASI: TAPAS MOVIDA, CIPETE
Sumber: Majalah HELLO! Indonesia, October 2015 Edition
Rubrik: Heart to Heart

Baca Juga:
Article on HELLO! Indonesia, Edisi Oktober 2015. Ario Bayu
Konsistensi & Totalitas Ario Bayu
Geluti Dunia Seni Peran

Sosok yang satu ini terbilang sebagai pemain baru dalam dunia seni peran Tanah Air. Namun talenta yang dimilikinya kini tidak hanya mendapatkan pengakuan dari dalam negeri, tetapi juga dari dunia internasional. Kepada HELLO! Indonesia, Ario Bayu menuturkan passion-nya dalam seni peran.


Aktor tampan ini datang dengan penampilan sangat kasual siang itu. Hanya berbalut kaos hitam bergambar dan celana jeans dengan warna senada, jauh dari kesan bahwa kini dirinya adalah salah satu selebritas Tanah Air yang sangat diperhitungkan kemampuan aktingnya. Garis wajahnya yang tegas seakan mengesankan bahwa kepribadian lelaki kelahiran Jakarta, 6 Februari 1985 ini adalah sosok yang sangat dingin. Namun suasana seketika mencair saat ia mulai bercerita tentang dunia yang digelutinya.
 
MEMILIH UNTUK MENJADI AKTOR
Ario Bayu menghabiskan 11 tahun masa kecil dan remajanya di Selandia Baru, satu negara indah dekat Benua Australia. Ia pindah ke Negeri Kiwi tersebut mengikuti kedua orangtuanya saat masih berusia sembilan tahun. Rasa penasaran akan kultur dan juga budaya asal yang mengalir dalam darahnya serta keinginannya untuk terjun di dunia seni peranlah yang akhirnya membuat Bayu, begitu aktor ini kerap disapa, membawanya kembali ke Indonesia.

“Saya sempat tinggal di London, Inggris. Pada saat itu, saya mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di sana,” tuturnya membuka perbincangan siang itu. “Setelah menyelesaikan pendidikan saya di Inggris, dengan niat untuk melanjutkan pendidikan program master di Selandia Baru, saya pun kembali ke sana,” lanjutnya lagi.

Namun ternyata takdir berkata lain. Keinginan untuk terjun total ke dunia seni sempat membuat dirinya bimbang. Kala itu, Bayu sudah memiliki satu band beraliran punk yang ia bentuk bersama dengan teman-temannya di Selandia Baru. “Padahal band saya sudah mulai mendapatkan perhatian di sana. Tetapi saya katakan kepada anggota band lainnya bahwa saya ingin kembali di Indonesia. Saya ingin mulai terjun di dunia seni peran di Indonesia, tanah kelahiran saya,” lanjut lelaki yang kerap dijuluki aktor watak ini. Bayu akhirnya mulai mewujudkan cita- citanya sebagai aktor, ia meninggalkan keluarga dan juga teman- temannya di Selandia Baru dan mencoba peruntungannya di Indonesia.

Pahit-manis dunia akting dijalani oleh Bayu. Ia akhirnya mendapatkan film pertamanya pada tahun 2004, bertema horor dengan judul Bangsal 13. “Saya memulai semuanya dari nol. Saya coba semuanya, dari audisi film hingga teater. Akhirnya kesempatan itu datang juga,” tuturnya.

Bayu tetap meyakini bahwa proses audisi menjadi salah satu hal yang wajib dijalani oleh siapa pun yang ingin menggeluti dunia seni peran. “Bagi saya, kalau seorang aktor berpikir audisi itu adalah batas ukur bahwa dia sudah hebat, dia kurang tepat. Audisi itu ada untuk memahami kesesuaian antara diri sendiri dengan karakter yang akan dimainkan. Bukan berarti dia ganteng, lalu dia cocok dengan karakter yang akan dibawakan. Saya yakin jika seorang aktor tahu makna dan fungsi dari proses audisi, maka dia tidak akan menghindari proses tersebut,” lanjutnya tegas.

Baru 11 tahun lelaki berdarah Jawa ini terjun di dunia layar lebar, namun sudah ada total 16 film termasuk satu drama serial bertaraf internasional yang telah dimainkannya. Yang menarik, ia juga telah memainkan berbagai macam karakter dalam beragam jenis film. Mulai dari film bertema horor, drama, sejarah, action hingga komedi pernah dijalaninya. “Sebagai orang yang terjun dalam dunia seni peran, saya yakin bahwa setiap individu pasti memiliki gayanya sendiri, begitu pula dengan saya. Sejujurnya, saya enggan berperan dalam satu genre film saja,” tutur Bayu yang pernah beradu akting dengan aktor Hollywood, Mickey Rourke dan Kelan Lutz dalam film Java Heat. Baginya mencoba beragam karakter dalam berakting akan menambah pengalaman dan juga kualitas individu yang dimiliki. “Rasanya percuma jika saya mendapatkan peran yang sama, contohnya seperti dalam film Java Heat, saya berperan sebagai seorang polisi, lalu di Dead Mine saya menjadi tentara, saat di drama serial HBO, Serangoon Road saya kembali menjadi polisi. Saya pun berpikir, wah kok sama semua ya? Di situ saya berpikir bahwa saya harus mendapatkan karakter yang berbeda,” lanjut aktor yang berperan sebagai Presiden Soekarno dalam film Soekarno ini.

Bayu menuturkan bahwa semua film dan juga karakter yang dijalaninya pasti memiliki sesuatu yang unik dan berbeda. “Kalau memang ternyata pada prosesnya tidak sesuai dengan harapan, ya tinggal suntikkan saja hal yang baru supaya tidak merasa bosan. Kunci menjaga energi dalam satu pekerjaan yang kita jalani itu adalah menciptakan tantangan-tantangan tersendiri di dalamnya,” lanjut Bayu.

Disinggung mengenai kesuksesan film terakhirnya, Soekarno yang hampir menembus kancah penghargaan kelas dunia Academy Awards, sosok rendah hati ini berkata: “Saya bukannya tidak merasa bangga, tetapi saya harus mengukur kebanggaan itu. Karena bila dibandingkan dengan dunia perfilman dunia, saya rasa posisi saya masih sangat jauh.”

KONSEP GO INTERNATIONAL 
Sudah mendapatkan perhatian dari tokoh-tokoh kelas dunia ternyata tidak membuat lelaki yang pernah menuntut ilmu di Globe London Theatre ini sesumbar dengan kata-kata go international. “Rasanya konsep go international menjadi ambigu di sini. Banyak yang berpikir kalau sudah bermain di Hollywood, bisa disebut sudah go international. Sementara sudah banyak teman saya di dunia seni peran Tanah Air yang sering bekerja sama dengan teman-teman dari negara lain, baik dari Singapura, Malaysia, bahkan Hollywood. Itu juga bisa dikatakan sudah go international,” katanya serius. 

“Tetapi kalau untuk keinginan bisa bekerja di sana, saya rasa semua aktor pasti memiliki keinginan untuk ke Amerika. Karena Amerika adalah pusatnya untuk bidang film, teater dan juga showbiz. Jadi kalau istilahnya ‘if you wanna make it big, ya universitasnya ada di sana’,” tandasnya.

Lelaki yang memiliki hobi minum kopi ini menceritakan bahwa tidak semudah itu untuk bisa masuk ke dunia perfilman Amerika. Tingkat kompetisi di sana jelas kelas dunia. “Bayangkan, untuk sekadar menjadi pemeran figuran di sana banyak aktor yang memegang gelar S1 bahkan master degree di bidang teater. Sutradara yang ada di sana sudah pasti kelas dunia,” tuturnya lagi. “Dua tahun yang lalu saya pernah berbincang dengan cast manager dan juga agen-agen perfilman yang ada di sana, mereka bilang kalau mau coba berakting di sini bisa- bisa saja, tetapi kembali diingat bahwa Anda akan berkompetisi dengan jutaan orang. Anda harus yakin memiliki ketajaman dan kemampuan akting di atas jutaan kontestan itu. Bintang di negeri sendiri belum tentu lolos di sana,” ujarnya.

Aktor yang kini juga tengah merintis usaha di bidang kuliner ini juga menuturkan bahwa Indonesia diuntungkan dengan jumlah penduduk yang sangat besar. “Bisa dibayangkan berapa besar market share yang kita miliki. Saya yakin pasti Hollywood juga akan melirik hal tersebut. Jadi boleh dibilang ada faktor luck dan juga kalkulasi bisnis di sana. Makanya saya salut dengan dua teman saya, Joe Taslim dan Iko Uwais, mereka benar-benar lolos di sana murni dengan talenta yang dimilikinya. They are both doing well. Mereka adalah aktor-aktor yang hebat,” tuturnya.

BUKAN SEKADAR CINTA
Perkembangan perfilman Tanah Air akhir-akhir ini mulai menggeliat, namun tak dipungkiri posisinya belum mampu menempati hati para penikmat film dalam negeri. “Mengapa kita lebih memilih menonton film luar negeri daripada film anak negeri? Padahal sebenarnya film yang dihadirkan oleh pesohor Hollywood ini juga masuk kategori film pop. Contohnya film Iron Man. Film ini berhasil menghadirkan sesuatu yang bisa merangsang imajinasi, dan itu juga jadi salah satu alasan akhirnya penonton di sini lebih memilih menonton film garapan luar negeri. Kendala utama perfilman Indonesia adalah biaya. Film- film mereka bisa menghabiskan dana hingga satu triliun rupiah, bahkan lebih. Sementara di Indonesia maksimal orang membuat film itu hanya menghabiskan dana sebesar 10 miliar rupiah, itu pun jarang sekali. Jadi otomatis kalau dari segi kualitas hiburan pasti berbeda. Tetapi perfilman kita tidak kalah kalau ditinjau dari segi seni. Baik pembuatan film, pengarahan maupun nilai artistik film kita sudah cukup baik,” jelasnya menambahkan.

Aktor yang salah satu filmnya pernah masuk dalam Busan Film Festival ini yakin bahwa tidak mungkin memaksakan kehendak kepada pasar. Apalagi jika kualitas yang dimiliki belum bisa menguasai pasar. “Memaksakan sesuatu, menurut saya itu bentuk doktrinasi. Saya setuju dengan adanya gerakan untuk mencintai film-film Indonesia, tetapi harus diimbangi dengan peningkatan kualitas di berbagai sisi. Misalnya, sebagai aktor, saya harus lebih andal lagi memainkan peran-peran yang dihadirkan oleh para penulis dan juga sutradara. Saya harus mampu menghadirkan sisi menarik saya sebagai seorang aktor. Kita harus bercermin lebih banyak lagi,” katanya yakin.

Lemahnya sistem pendukung yang ada dalam dunia seni peran Indonesia pun dikatakannya sebagai satu faktor penentu kurang berkembangnya dunia layar lebar Indonesia. “Jika satu investasi menghasilkan satu keuntungan, pasti ini akan mampu menyegarkan komponen pendukung yang ada di dalam sistem tersebut. Nah, kondisi dunia perfilman Indonesia agak independen. Belum ada infrastruktur dalam industri perfilman yang dapat saling mendukung,” jelasnya antusias.

Sosok tampan berkulit sawo matang ini juga memiliki pandangan yang berbeda tentang harapan terhadap dunia film Tanah Air. “Yang saya tahu, kini saya membenahi diri sendiri sebagai aktor. Saya ingin menjadi aktor yang lebih baik lagi dan mampu memberikan entertainment value yang lebih baik. Karena posisi saya adalah proponent, kontributor di dunia seni peran ini. Kalau saya berakting tidak bagus, nanti tidak ada yang mau menonton film saya. Dan efek domino akan terjadi di belakangnya,” paparnya penuh keyakinan.

TEKS: SYAHRINA PAHLEVI
FOTO: RINAL WIRATAMA
PENGARAH GAYA: BUNGBUNG MANGARAJA
ASISTEN PENGARAH GAYA: DINDA OKZANDINI
LOKASI: VIE FOR LIVING, KEMANG

Sumber: Majalah HELLO! Indonesia, October 2015 Edition
Rubrik: Celeb News

Baca Juga:
Arungi Tiga Dekade Ruth Sahanaya Ingin Bisa Terus Berkarya