A Dusty City, Called Medina
A Dusty City, Called Medina
Dusty city, ya....kota yang penuh debu itu adalah kalimat pertama yang melintas dalam pikiran saya sesaat setelah pesawat Saudia Airlines yang membawa saya dan rombongan mendarat dengan sempurna di landasan pacu International Airport Prince Mohammad bin Abdulaziz, Medina atau lebih dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan nama Madinah. Salah satu kota tersuci bagi umat muslim di seluruh belahan dunia. Kota yang menjadi tujuan hijrah Nabi Muhammad SAW dari kota Mekkah. Satu kota yang penduduknya disebut-sebut sebagai kaum penolong sejak dahulu kala.
Walaupun saat itu langit masih cukup terang, namun saat melemparkan pandangan mata ke luar jendela, atmosfer debu dan juga nuansa gersang sangat mendominasi. Alhasil langit pun menjadi terlihat cukup mendung kala itu. Sebagai orang yang baru pertama kali menapakkan kaki di Jazirah Arab saya sangat bersemangat dengan perjalanan ini. Saya sungguh penasaran untuk bisa melihat langsung kondisi gersang dan berdebunya kota ini.
Urusan imigrasi, bagasi, dan tunggu-menunggu jamaah lainnya ternyata membuat saya gagal untuk melihat secara langsung kota ini dalam kondisi langit yang masih terang. Harus bersabar menunggu hingga pagi nampaknya....hehehe. Melangkahkan kaki ke luar bandara, kegelapan sudah menghiasi langit yang dihias apik dengan kehadiran bulan purnama berukuran cukup besar. Sambutan yang sangat indah bagi saya. Pemandangan yang juga membuat saya berpikir bahwa kota ini tampak berada sangat dekat dengan langit. Seketika saya pun dibuat jatuh hati dengan Madinah.
Madinah Dengan Latar Gunung Batu |
Dalam perjalanan menuju hotel, Pak Ustadz yang menjadi pembimbing saya dan rombongan dalam menjalankan ibadah umroh kali ini pun bercerita bahwa kota yang menjadi tempat tujuan hijrah Nabi Muhammad SAW ini memang dikenal dengan kota yang penuh debu. "Nanti di Mekkah akan terasa bahwa gunung batu yang mendominasi pemandangan kota, tetapi di sini walaupun ada gunung batu tetapi debu lebih mendominasi kota Madinah ini," tuturnya. Penjelasan yang membuat saya pun tak heran dengan kesan dusty yang saya dapatkan sesaat setelah sampai di sini.
Menghabiskan waktu sekitar setengah jam perjalanan, saya dan rombongan
akhirnya sampai di hotel tempat kami beristirahat selama berada di kota Madinah ini. Saya menempati satu
kamar ukuran sedang yang memuat 4 buah tempat tidur. Satu kamar tersebit diisi
oleh saya, mama, papa, dan adik perempuan saya.
Saya memang tidak sempat mengukur berapa suhu udara Madinah malam itu, yang pasti udara dingin sontak menyentuh permukaan kulit saya sejak keluar dari bandara. Nampaknya memang benar apa yang dibilang orang bahwa suhu di Madinah saat akhir tahun bisa membuat terasa orang dari negara tropis seperti saya kedinginan. Karena belum sempat menunaikan ibadah sholat magrib dan isya, seluruh rombongan akhirnya sepakat untuk melakukan sholat jamaah di Masjid Nabawi, sekalian menunjukkan jalan untuk menuju ke masjid dari penginapan kami.
Lokasi masjid ternyata berjarak sekitar 5 menit jalan kaki dari hotel dan terbilang mudah rutenya. Kami hanya cukup berjalan lurus saja dari pintu hotel lalu akan tiba di pintu gerbang nomor 16 Masjid Nabawi dan berada langsung di bagian sisi kanan masjid yang juga berdekatan dengan pintu masuk masjid untuk khusus untuk perempuan. Karena malam itu jamaah terdiri dari perempuan dan laki-laki maka rombongan pun berjamaah bersama di pelataran masjid. Sholat berjamaah di Masjid Nabawi, sungguh merupakan pengalaman pertama kali yang sungguh tidak terlupakan bagi saya.
Halaman Masjid Nabawi terlihat sangat indah. Lampu-lampu di berbagai penjuru masjid menyala bagaikan taburan bintang, belum lagi langit memang terhitung cerah malam itu. Pendaran cahaya bintang di langit pun berbaur sempurna dengan pendaran cahaya lampu Nabawi.
Saya sama sekali tidak memiliki bayangan seperti apakah bentuk kota yang satu ini, yang saya tahu bahwa Jazirah Arab pasti didominasi dengan gurun pasir dan bangunan-bangunan bergaya sederhana dengan dinding yang warnanya juga seragam dengan warna gurun. Namun kenyataan berkata lain, gedung-gedung di sekitar Masjid Nabawi memang kebanyakan memiliki warna yang mirip dengan warna pasir gurun, namun menjulang tinggi bagaikan hutan beton di tengah kota Jakarta. Walaupun tinggi bangunan di sini "katanya" tidak ada yang lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi menara masjid, tetapi cukup juga untuk menghalau sinar matahari di beberapa sisi jalan. Di halaman depan hotel saya misalnya, sesiang dan seterik apapun matahari bersinar halaman hotel tetap teduh dan nyaman, belum lagi jika angin bertiup dari lorong-lorong antar gedung di sekeliling.
Bolak-balik dari masjid ke penginapan saya pun menjajal semua jalur berbeda yang bisa membawa saya kembali ke hotel. Kesimpulannya, tidak heran jika banyak jamaah terlebih kaum manula yang tersasar. Bentuk bangunan yang ada di sini memang serupa walaupun tidak sama. Tata letak dan juga pertokoannya yang sangat mirip satu sama lain juga lumayan membuat bingung. Mengingat beberapa hotel di kota ini juga memiliki nama yang mirip, maka coba hafalkan gedung yang terdekat dengan hotel kita. Contohnya, hotel saya berada segaris lurus dengan pintu nomor gerbang masjid 16, dari arah hotel saya akan langsung melihat menara masjid, sebaliknya dari arah masjid jika dilihat dari jalan di depan pintu nomor 16, maka saya akan melihat tulisan besar "Restoran Masakan Indonesia", maka tanda itulah yang saya hafalkan. Jaga-jaga kalau lupa, maka itu patokan utama saya.
Jalanan di kompleks Masjid Nabawi sangat lebar ukurannya dengan lalu lintas yang berbeda 180 derajat dari lalu lintas Jakarta. Setelah saya amati ternyata deretan gedung-gedung beton ini adalah bangunan hotel. Semakin dekat dengan pintu Masjid maka semakin mahal hotelnya. Ya apa mau dikata, teori ekonomi juga pasti berlaku di sini kan ya.
Al Masjid Al Nabawi |
Bercengkrama Di Masjid Nabawi
Masjid Nabawi yang juga dikenal dengan nama Al Masjid Al Nabawi ini merupakan masjid kedua terbesar di dunia setelah Masjidil Haram di Mekkah. Masjid ini juga merupakan masjid kedua yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW setelah Masjid Quba dalam perjalanan hijrah beliau dari Mekkah ke Madinah. Masjid ini dibangun di atas tanah yang dahulunya merupakan tempat penjemuran buah kurma milik anak yatim dua bersaudara Sahl dan Suhail bin ‘Amr, yang kemudian dibeli oleh Rasulullah. Masjid Nabawi tidak hanya menjadi tempat beribadah bagi umat islam saja, namun tempat ini juga menjadi tempat bercengkrama penduduk setempat dan juga para jamaah haji dan umroh yang berkunjung. Banyak orang berkumpul selepas waktu Ashar, mereka menunggu waktu Magrib di pelataran masjid bersama dengan seluruh anggota keluarga. Tidak hanya sekadar berkumpul, mereka juga membawa minuman dan juga makanan untuk disantap bersama. Mereka baru membubarkan diri lepas waktu isya, malah banyak juga yang baru membubarkan diri menjelang tengah malam.
Jelang Waktu Magrib |
Lain padang, lain belalang. Jika di Jakarta mall penuh saat akhir pekan tiba, maka di Madinah jumlah pengunjung ke Masjid juga meningkat tajam saat akhir pekan tiba. Setiap hari Masjid Nabawi memang tidak pernah sepi jamaah, namun akhirnya pekan jumlah jamaah yang datang memang jauh melimpah ruah. Semua lokasi sholat yang disiapkan pasti penuh oleh jamaah, kondisi di dalam masjid jangan ditanya, jika tiba di sana sudah mepet waktu sholat maka pintu masuk masjid dipastikan sudah ditutup karena jumlah jamaah di dalam juga sudah padat.
Di hari tertentu banyak kelompok-kelompok kajian Al-Quran penduduk setempat yang diadakan di dalam masjid. Mulai dari usia dewasa, hingga usia anak-anak. Menyenangkan saat mendengar sekelompok remaja melantunkan ayat Al-Quran yang sedang mereka hafalkan bersama-sama, atau saat melihat anak-anak kecil berebutan bertanya pada sang guru tentang apa yang sedang mereka pelajari. Keseruan yang turut membuat saya penasaran akan hal yang sedang mereka pelajari, sayangnya saya tidak mengerti sama sekali bahasa mereka.
Satu waktu saya sengaja menyambut senja dengan memilih untuk beribadah di pelataran masjid. Di situ saya juga bertemu dengan banyak kelompok anak kecil yang tengah bermain dengan riangnya dan berlarian ke sana kemari mengelilingi masjid. Ada juga yang tengah sibuk dengan pekerjaan rumahnya, atau anak usia pendidikan Taman Kanak-Kanak yang asyik mewarnai dengan sang ibu. Di satu sudut saya melihat sekelompok remaja mengobrol seru sambil tertawa malu-malu, entah apa yang sedang mereka bahas saat itu. Sebagai pecinta kucing, saya sangat bahagia waktu menemukan seekor kucing tertidur nyaman di atas sajadah tanpa ada seorang pun yang menganggunya, atau saat dua ekor burung merpati terbang bebas bermanuver menukik masuk ke dalam kubah masjid. Mungkin ini yang disebut dengan tempat untuk semua. Tempat di mana semua bisa nyaman dan aman melakukan kegiatan mereka.
Saat-saat menjelang Subuh adalah waktu yang paling menyenangkan bagi saya, melihat semua orang berbondong-bondong ke masjid sejak langit masih gelap demi untuk bisa menunaikan ibadah subuh berjamaah. Tidak sedikit ibu yang membawa balitanya walaupun hari masih terbilang malam. Pemandangan bapak-bapak yang sholat sambil mengendong buah hatinya juga banyak saya temukan. Si anak terlelap di bahu ayahanda, sementara sang ayah tetap khusyuk melakukan ibadahnya.
Hal menakjubkan lainnya bagi saya dalam perjalanan ini adalah saat saya melihat semua pemilik toko segera menutup tokonya untuk ikut beribadah bersama. Yang tidak memiliki toko, mereka dengan santai meninggalkan barang dagangannya tanpa rasa khawatir akan kehilangan barang dagangannya. Saat adzan menggema dan iqomah memanggil, semua menghentikan kegiatan dan bersama-sama memenuhi panggilanNya.
Tenggang rasa adalah satu hal besar yang saya pelajari dan rasakan dalam perjalanan saya kali ini. Saya berpikir, bahwa gerakan tata shalat yang diajarkan di setiap negara sepertinya berbeda, terbukti saya melihat banyak variasi gerakan sholat yang berbeda dari yang biasa saya lakukan. Misalnya, saat duduk tahiyat akhir kaki saya mengarah ke sebelah kanan namun ada yang melakukan duduk tahiyat akhir dengan kaki mengarah ke sebelah kiri. Cara mereka bersujud juga berbeda. Ada yang bersujud seperti biasa, namun ada juga yang merebahkan seluruh badannya ke lantai. Berbeda gerakan, jelas. Apakah ada yang memprotes cara mereka beribadah? Rasanya tidak. Entah ada atau tidak Undang-Undang yang menjamin, namun setiap individu bebas beribadah dan berdoa kepada Allah SWT dengan cara mereka masing-masing.
Tenggang rasa adalah satu hal besar yang saya pelajari dan rasakan dalam perjalanan saya kali ini. Saya berpikir, bahwa gerakan tata shalat yang diajarkan di setiap negara sepertinya berbeda, terbukti saya melihat banyak variasi gerakan sholat yang berbeda dari yang biasa saya lakukan. Misalnya, saat duduk tahiyat akhir kaki saya mengarah ke sebelah kanan namun ada yang melakukan duduk tahiyat akhir dengan kaki mengarah ke sebelah kiri. Cara mereka bersujud juga berbeda. Ada yang bersujud seperti biasa, namun ada juga yang merebahkan seluruh badannya ke lantai. Berbeda gerakan, jelas. Apakah ada yang memprotes cara mereka beribadah? Rasanya tidak. Entah ada atau tidak Undang-Undang yang menjamin, namun setiap individu bebas beribadah dan berdoa kepada Allah SWT dengan cara mereka masing-masing.
Sebagai seorang perempuan saya juga merasa sangat nyaman di sini. Tidak ada yang mengkritik cara saya memakai hijab. Semua juga memakai hijab sesuai dengan caranya sendiri. Orang India kebanyakan hanya melilitkan kain sari mereka yang multifungsi menjadi penutup kepala mereka, anak-anak dan remaja tampak apik melilitkan pashmina mereka melingkari leher, sementara perempuan dewasa terlihat lebih santai memilih untuk menggunakan cadar. Semua tampak indah tanpa ada acara pandangan saling menghakimi satu sama lain. Satu yang pasti, warna hitam nampaknya menjadi warna favorit perempuan di sana.
Pak Ustadz sebagai kepala rombongan kami kerap berpesan selain memaksimalkan beribadah supaya kami juga kerap bersedekah di sini. Jangan salah, bersedekah tidak melulu harus uang. Coba sesekali tengok meja buah saat waktu makan di hotel, biasanya banyak buah yang tersisa bisa di bawa ke kamar untuk kemudian nantinya dibagi-bagikan kepada yang membutuhkan. Banyak musafir yang tinggal di masjid dan tidak keberatan sama sekali jika diberikan makanan. Jangan tersinggung juga jika saat kita sedang duduk manis tiba-tiba ada orang muncul dan memberikan beberapa buah kurma atau permen kepada Anda. Mereka sedang bersedekah kepada orang-orang yang ada di masjid.
Di dalam Masjid Nabawi terdapat satu tempat yang dijanjikan Allah SWT akan diangkat menjadi taman surga di hari akhir nanti. Tempat ini di kenal dengan nama Raudah. Lokasi Raudah berada di bagian dalam Masjid yang merupakan bagian dari bangunan asli yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW dan berada bersebelahan dengan makam Rasulullah SAW berserta kedua sahabatnya Abu Bakar Siddiq RA dan Umar Bin Khattab RA. Tempat ini merupakan tempat dimana doa-doa selalu berkumandang, linangan air mata pun tak pernah berhenti di sini. Berbeda dengan Masjid Nabawi yang menggunakan karpet berwarna merah, Raudah menggunakan karpet berwarna hijau. Jika sudah berada di Masjid Nabawi maka tentu sedih sekali jika kita tidak bisa mengunjungi Raudah. Tempat ini juga merupakan yang dijanjikan sebagai salah satu lokasi di mana doa-doa menjadi mustajab untuk dikabulkan. Tidak heran jika tempat ini memang tidak pernah sepi sama sekali, selalu dipenuhi oleh jamaah dari belahan dunia manapun.
Waktu untuk masuk Raudah pun terbatas. Kebanyakan orang mulai memenuhi Raudah setelah waktu sholat subuh hingga sekitar pukul 9 pagi. Karena lepas dari pukul 9 pagi pintu menuju Raudah akan di tutup. Jamaah yang berada di dalam akan antri untuk kemudian bergantian mendapatkan kesempatan untuk beribadah di dalamnya. Walaupun sudah diatur sedemikian rupa terkadang jumlah jamaah yang sangat banyak memang menjadi kendala. Saya ingat sebelum masuk ke dalam Raudah, Ustadzah yang mendampingi kami berkata, "Banyaklah berdoa, berdzikir, dan ikhlas saat masuk ke dalam sana. Semoga Allah SWT memberi kemudahan bagi kita semua," ujarnya. Saya bersyukur bahwa seluruh rombongan saya bisa melakukan ibadah di dalam Raudah, semoga semua doa-doa yang dimohonkan juga dikabulkan oleh Allah SWT. Amin.
Oh iya, di dalam Masjid Nabawi disediakan tangki-tangki plastik besar berisi air zam-zam maka setiap pergi ke masjid biasanya saya membekali diri dengan satu buah botol kosong untuk diisi dengan air zam-zam. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum masuk ke Masjid Nabawi. Masjid Nabawi memang menyediakan loker dan plastik untuk menyimpan alas kaki kita. Tetapi dengan jumlah jamaah yang selalu banyak alangkah baiknya jika kita membawa plastik sendiri, atau mungkin bisa membawa tas kecil untuk alas kaki kita. Jika kita membawa tas, setiap masuk ke dalam masjid akan ada petugas yang memeriksa tas tersebut.
Ada yang bilang bahwa hp dan kamera tidak diperbolehkan dibawa masuk, namun kenyataannya boleh kok. HP dan kamera poket saya aman masuk ke dalam masjid. Setiap hendak masuk simpan dahulu handphone dan kamera di dalam tas, aman kan. Setting HP dalam kondisi silent untuk menghindari membuat jamaah lain terganggu saat beribadah jika tiba-tiba ponsel kita berbunyi. Tidak ada yang melarang kita mengabadikan tampak dalam masjid, jamaah diperbolehkan berfoto. Selama tidak berlebihan sampai menganggu orang lain tentunya.
Jika kita berbelanja dalam perjalanan menuju masjid, ingat bahwa yang dilarang dibawa masuk ke dalam masjid justru barang belanjaan. Jika petugas menemukan barang belanjaan hasil shopping maka tidak akan diperbolehkan masuk ke masjid. Mungkin jika semua yang membawa belanjaan diizinkan masuk maka shaf saat sholat akan dipenuhi shaf tambahan berupa kantung belanja.
Menunggu Fajr |
Waktu untuk masuk Raudah pun terbatas. Kebanyakan orang mulai memenuhi Raudah setelah waktu sholat subuh hingga sekitar pukul 9 pagi. Karena lepas dari pukul 9 pagi pintu menuju Raudah akan di tutup. Jamaah yang berada di dalam akan antri untuk kemudian bergantian mendapatkan kesempatan untuk beribadah di dalamnya. Walaupun sudah diatur sedemikian rupa terkadang jumlah jamaah yang sangat banyak memang menjadi kendala. Saya ingat sebelum masuk ke dalam Raudah, Ustadzah yang mendampingi kami berkata, "Banyaklah berdoa, berdzikir, dan ikhlas saat masuk ke dalam sana. Semoga Allah SWT memberi kemudahan bagi kita semua," ujarnya. Saya bersyukur bahwa seluruh rombongan saya bisa melakukan ibadah di dalam Raudah, semoga semua doa-doa yang dimohonkan juga dikabulkan oleh Allah SWT. Amin.
Oh iya, di dalam Masjid Nabawi disediakan tangki-tangki plastik besar berisi air zam-zam maka setiap pergi ke masjid biasanya saya membekali diri dengan satu buah botol kosong untuk diisi dengan air zam-zam. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum masuk ke Masjid Nabawi. Masjid Nabawi memang menyediakan loker dan plastik untuk menyimpan alas kaki kita. Tetapi dengan jumlah jamaah yang selalu banyak alangkah baiknya jika kita membawa plastik sendiri, atau mungkin bisa membawa tas kecil untuk alas kaki kita. Jika kita membawa tas, setiap masuk ke dalam masjid akan ada petugas yang memeriksa tas tersebut.
Ada yang bilang bahwa hp dan kamera tidak diperbolehkan dibawa masuk, namun kenyataannya boleh kok. HP dan kamera poket saya aman masuk ke dalam masjid. Setiap hendak masuk simpan dahulu handphone dan kamera di dalam tas, aman kan. Setting HP dalam kondisi silent untuk menghindari membuat jamaah lain terganggu saat beribadah jika tiba-tiba ponsel kita berbunyi. Tidak ada yang melarang kita mengabadikan tampak dalam masjid, jamaah diperbolehkan berfoto. Selama tidak berlebihan sampai menganggu orang lain tentunya.
Jika kita berbelanja dalam perjalanan menuju masjid, ingat bahwa yang dilarang dibawa masuk ke dalam masjid justru barang belanjaan. Jika petugas menemukan barang belanjaan hasil shopping maka tidak akan diperbolehkan masuk ke masjid. Mungkin jika semua yang membawa belanjaan diizinkan masuk maka shaf saat sholat akan dipenuhi shaf tambahan berupa kantung belanja.
Kadieu..kadieu..aliasnya kesini kesini kata-kata ini sering sekali saya dengar saat berada di Madinah. Sepanjang jalan menuju masjid memang dipenuhi dengan area pertokoan, berbagai macam barang-barang dijual di sana. Mulai dari pakaian, perlengkapan beribadah, parfum, souvenir, perhiasan, dan juga makanan. Jangan kaget jika Anda mendengar seseorang dengan raut wajah Arab yang kental tiba-tiba menyapa dengan sapaan apa kabar, silahkan mampir, atau bahkan berteriak kadieu-kadieu. Kebanyakan penjual di Madinah bisa berbahasa Indonesia, beberapa bahkan berbicara bahasa Jawa dan Sunda. Ya walaupun tidak fasih tetapi cukup untuk melakukan transaksi jual beli dengan calon pembeli. Mungkin para pedagang ini menyadari bahwa orang Indonesia merupakan salah satu pangsa konsumen terbesar mereka, sehingga akhirnya mereka pun berinisiatif untuk mempelajari bahasanya.
Mayoritas orang yang berkunjung ke kota ini memang untuk beribadah, namun menyisipkan waktu untuk berbelanja juga tidak ada salahnya. Saya pribadi menyisipkan waktu tersebut di sela kegiatan beribadah. Setiap perjalanan pulang dari masjid untuk kembali ke hotel pada jam makan siang dan makan malam, saya pasti melewati deret pertokoan tersebut, biasanya itulah waktu yang saya gunakan untuk melihat-lihat dan membeli souvenir serta oleh-oleh.
Bagi saya pribadi berbelanja di Madinah sangat menyenangkan, para pedagang juga tidak memaksa kita untuk selalu membeli barang dagangan mereka. Dari harga yang mereka tawarkan juga masih bisa kita tawar lagi. Jika sepakat dengan harganya biasanya mereka akan berkata "halal", setelahnya kita hanya perlu membayar seharga yang telah disepakati tersebut.
Jika ingin memberi souvenir berupa tasbih, gelang, pacar kuku, make-up, parfum, gantungan kunci, tempelan kulkas, tetapi Anda malas menawar (seperti saya), maka saya sarankan untuk mencari toko serba 2 Riyal. Mereka menjual berbagai oleh-oleh tersebut dalam satu harga, yaitu 2 Riyal saja. Saya berhasil menemukan beberapa toko serba 2 Riyal di sekitar komplek Masjid Nabawi ini, salah satunya terletak tepat di seberang hotel tempat saya menginap.
Jika kita berada di Madinah pada hari Jumat, hari ini bisa dibilang juga merupakan hari yang baik untuk berbelanja. Pedagang banyak yang memberikan potongan ekstra di hari ini. Mungkin karena hari Jumat merupakan hari yang baik sehingga mereka juga memberikan tambahan diskon di hari ini.
Jika kita berada di Madinah pada hari Jumat, hari ini bisa dibilang juga merupakan hari yang baik untuk berbelanja. Pedagang banyak yang memberikan potongan ekstra di hari ini. Mungkin karena hari Jumat merupakan hari yang baik sehingga mereka juga memberikan tambahan diskon di hari ini.
Seluruh pedagang di Madinah adalah lelaki, maka saya sarankan jika ingin berbelanja sebaiknya Anda tidak pergi sendirian. Minimal ada orang lain yang menemani, namun bukan karena takut dijahati atau bagaimana melainkan supaya lebih nyaman saja. Mayoritas pedagang yang saya temui semuanya ramah, beberapa bahkan bikin baper karena gantengnya gak santai dan baik hati.
Jujur saja sebelum melakukan perjalanan ini tidak sedikit kabar mengenai arogansi penduduk negeri gurun yang sempat mampir ke telinga saya. Sampai saya akhirnya sampai di satu kesimpulan pasti bahwa orang menyebalkan itu pasti ada dimana-mana begitu juga dengan orang yang baik hati dan menyenangkan.
Saya hampir saja meninggalkan dompet saya di meja imigrasi jika sang petugas tidak berbaik hati untuk meminta orang membantunya mengejar saya yang sudah hampir keluar dari area pemeriksaan paspor. Pernah juga saya hampir meninggalkan segelas besar minuman yang seharusnya disertakan satu paket dengan makanan pesanan saya karena terburu-buru dan tidak sadar bahwa minuman tersebut belum diambil. Semua perempuan yang sedang mengantri di belakang saya spontan berteriak memanggil saya kembali.
Satu ketika saat saya sibuk mencari pecahan kecil untuk membayar kekurangan belanjaan saya, si penjual ternyata melihat permen kopiko di tangan saya, dia lalu berkata, "Boleh kasih itu saja?". Setelah duberikan permen tersebut lalu ia berkata kembali, "Ok, kurangnya sudah halal. Ganti dengan ini," sembari mengangkat permen yang saya berikan. Penjual mana yang mau dibayar dengan permen, baru saya temukan di sini...hehehe. Dua buah permen untuk mengganti kekurangan 2 Riyal atau sekitar 8000 Rupiah, wah saya sih bersyukur sekali.
Pernah tidak hanya karena memberikan sebutir permen pelega tenggorokan lalu didoakan dengan khusyuknya dan dalam kasus ini di dalam Masjidil Haram sebagai wujud rasa terima kasih mereka atas permen yang kita berikan? Di sini orang seperti itu ada, bahkan banyak.
Kota ini benar-benar penuh dengan orang yang baik hati, namun orang jahat juga tetap ada dan tetap waspada. Jika ada perempuan (atau lelaki) yang tiba-tiba mendekati dan meminta uang sebaiknya hindari saja. Mereka biasanya punya gerombolan, jika diberi biasanya gerombolan mereka akan mengelilingi kita. Bukannya mau pelit tetapi biasanya yang akan mendekati itu perempuan muda yang masih sehat-sehat saja. Saya juga bingung kenapa perempuan muda itu meminta uang ke sana ke mari. Sebaiknya jangan jalan-jalan sendirian, terlebih jika perempuan. Toh lebih nyaman jika berjalan dengan beberapa orang bersama ketimbang sendirian.
Bagi saya jalan-jalan dimana pun dan kapan pun belum lengkap tanpa jajan....hehehe. Sesampainya di hotel dan menemukan waktu luang saya pun mengeret papa masuk ke dalam supermarket Bin DaWood, salah satu chain supermarket terbesar di Saudi Arabia. Saya penasaran dengan hebohnya adik laki-laki saya bercerita yang berkata bahwa pilihan rasa jus di sini jauh lebih lengkap dari pada di Tanah Air, dengan rasa yang jauh lebih enak dan harga yang jauh lebih murah. Saya juga penasaran dengan roti 7 berbentuk Croissant dengan harga 1 Riyal saja dan tentu juga jajanan makanan ringan lainnya....hehehe.
Beruntung lokasi gerai Bin DaWood ternyata tidak terlalu jauh dari Masjid, hanya satu blok gedung dari halaman luar masjid. Beruntung lagi papa saya juga orang yang gemar jajan, lepas waktu sholat Isya saya pun mengajak papa mampir ke sana. Kami akhirnya membeli berbagai macam jus yang memang rasanya jauh lebih enak dari jus botolah di sini. Rasa penasaran saya akan roti 7 pun terbayar, dan rotinya supeeeeer enaaaaak!! MUST! SHOULD TRY!! Satu hal lagi yang membuat saya berbinar-binar di dalam supermarket adalah saya menemukan Pop Mie....hehehe. Mie instan legendaris asal Tanah Air ini ternyata sukses "menjajah" Jazirah Arab. Tak pelak saya pun membeli beberapa buah untuk saya cicipi perbedaan rasanya dengan keluaran Tanah Air alibi bener padahal mah emang dasar aja doyan mie.
Di Bin DaWood kita juga bisa membeli berbagai macam cokelat dan camilan yang kalau di beli di supermarket Jakarta masuk kategori makanan impor dan harganya kurang masuk akal. Sementara jika mau membeli cokelat kiloan gerai-gerai yang berjualan kurma di sekitar masjid juga menjualnya. Biasanya di bandrol sekitar 15 Riyal perkilo. Sama seperti harga yang ditawarkan oleh beberapa toko di pinggiran kota Jeddah. Harga ini juga lebih murah ketimbang membeli cokelat kiloan di Kebun Kurma atau di Mekkah.
Selesai dengan supermarket ini, keesokannya saya kembali "berisik" ingin mencari kopi. Belum lagi kebetulan saya kurang cocok dengan kopi yang disajikan di hotel setiap harinya dan persediaan kopi instan dari Indonesia juga mulai menipis. Akhirnya misi mencari gerai kopi asal Amerika yang banyak tersebar di pelosok dunia pun saya lakukan. Bukan sombong atau bagaimana, kopi yang disajikan di hotel sudah saya racik dengan takaran apapun tetap kelewat kental dan kadar asamnya bukan main-main. Saya kasihan dengan lambung saya, namun pasokan kebutuhan kafein juga memanggil-manggil setiap harinya. Maka rasanya saya harus segera berjumpa kembali dengan kawan lama saya, alias kopi ala Starbucks Coffee.
Di Bin DaWood kita juga bisa membeli berbagai macam cokelat dan camilan yang kalau di beli di supermarket Jakarta masuk kategori makanan impor dan harganya kurang masuk akal. Sementara jika mau membeli cokelat kiloan gerai-gerai yang berjualan kurma di sekitar masjid juga menjualnya. Biasanya di bandrol sekitar 15 Riyal perkilo. Sama seperti harga yang ditawarkan oleh beberapa toko di pinggiran kota Jeddah. Harga ini juga lebih murah ketimbang membeli cokelat kiloan di Kebun Kurma atau di Mekkah.
Selesai dengan supermarket ini, keesokannya saya kembali "berisik" ingin mencari kopi. Belum lagi kebetulan saya kurang cocok dengan kopi yang disajikan di hotel setiap harinya dan persediaan kopi instan dari Indonesia juga mulai menipis. Akhirnya misi mencari gerai kopi asal Amerika yang banyak tersebar di pelosok dunia pun saya lakukan. Bukan sombong atau bagaimana, kopi yang disajikan di hotel sudah saya racik dengan takaran apapun tetap kelewat kental dan kadar asamnya bukan main-main. Saya kasihan dengan lambung saya, namun pasokan kebutuhan kafein juga memanggil-manggil setiap harinya. Maka rasanya saya harus segera berjumpa kembali dengan kawan lama saya, alias kopi ala Starbucks Coffee.
Awalnya, lumayan sulit menemukan kedai kopi ini. Alih-alih menemukannya saya malah terlebih dahulu berjumpa dengan gerai Kolonel Sanders dan Hardee's Burger yang langsung berada di bawah pengelolaan Carl's Junior Burger. Sebelumnya gerai McDonalds sudah terlebih dahulu menyapa saya di bandara. Saya pun menyempatkan diri membeli ayam KFC, penasaran seperti apa menu yang mereka hadirkan di Saudi Arabia.
Kenapa KFC? Karena menurut saya KFC selalu memiliki cara penyajian yang berbeda di setiap negara. Jika di Indonesia kita bisa memesan kentang atau nasi, di Madinah saya mendapatkan kentang dan roti burger utuh, dengan condiment saus tomat dan mayo. Berbeda jauh dengan KFC yang pernah saya sambangi di Kamboja, kala itu saya mendapat condiment acar timun. Sementara di Viet Nam saya malah mendapat topping telur ceplok di atas nasi saya. Untuk satu paket berisi 4 buah ayam, kentang goreng ukuran besar, 2 buah roti burger utuh, dan satu gelas cola ukuran JUMBO, saya menghabiskan uang sekitar 29 Riyal. Oh iya, cola ukuran JUMBO ini atas keculasan mas kasir sebenarnya yang tiba-tiba mengupgrade minuman tanpa kesepakatan saya terlebih dahulu. Jadi HATI-HATI, lebih teliti.
Kabar burung lain berkata bahwa di Saudi Arabia hanya lelaki yang bisa membeli di gerai makanan. Jawabannya BOHONG. Perempuan juga bisa membeli kok. Beberapa memang memang memisahkan kasirnya, ada kasir untuk lelaki dan khusus untuk perempuan. Di KFC antara kasir khusus untuk perempuan dan lelaki dipisahkan oleh satu buah tembok setebal 15 cm....hehehe.
Kembali ke kedai kopi. Berbekal informasi dari seorang teman baik, saya pun akhirnya berhasil menemukan gerai kopi Starbucks tepat di sisi sebelah kanan pintu gerbang masjid nomor 26. Gerainya kecil, tapi sudah buka sejak pukul 6 pagi dan pembeli juga sudah mengantri cukup panjang. Belum lagi cuaca di Madinah semakin dingin setiap harinya, segelas grande hot americano atau cafe latte di pagi hari pastinya akan sangat menyenangkan. Well, paling tidak hal ini menyenangkan bagi saya. Saya sempat tergelak saat melihat toko HnM yang berada bersampingan dengan Starbucks Coffee juga nampaknya sudah buka di jam tersebut.
Sampai Jumpa Madinah
Menghabiskan hanya beberapa malam di Madinah ternyata sukses memenjarakan hati saya. Saya benar-benar jatuh cinta dengan kota ini. Bagi saya Madinah berhasil membuat saya merasa damai dan memberikan ketenangan tersendiri bagi hati saya. Masjid Nabawi adalah salah satu tempat terindah yang pernah saya kunjungi, masih terekam dengan baik dalam ingatan saya setiap jengkal pesonanya. Masjid besar berkarpet merah yang di dalamnya terdapat berbagai cerita.
Senja Di Madinah |
Menghabiskan hanya beberapa malam di Madinah ternyata sukses memenjarakan hati saya. Saya benar-benar jatuh cinta dengan kota ini. Bagi saya Madinah berhasil membuat saya merasa damai dan memberikan ketenangan tersendiri bagi hati saya. Masjid Nabawi adalah salah satu tempat terindah yang pernah saya kunjungi, masih terekam dengan baik dalam ingatan saya setiap jengkal pesonanya. Masjid besar berkarpet merah yang di dalamnya terdapat berbagai cerita.
Saya dan rombongan meninggalkan Madinah tepat di hari jumat setelah lepas waktu ibadah sholat Jumat. Entah kapan saya akan bisa kembali mengunjunginya, namun saya berharap bahwa kesempatan untuk itu akan kembali ada. I do wish to stay longer here. It's hard to leave this place. I do burrying part of my heart here, so I could comeback to visit this place again near future. Amin, Ya Robbal Allamin.
Kangen balik lagi umroh dan berkunjung ke Madinah...��
ReplyDeleteIya ngangenin ternyata kota itu ya..terima kasih sudah mampir ke blog saya... :)
DeleteYa Allah kangen banget kembali ke sana....
ReplyDeleteTerakhir kesana, saat di madinah aku harus selalu pake masker karena debunya.
Terima kasih sudah mampir Mbak Wian. Iya saya juga sudah kangen sekali dengan Madinah. Waktu itu di sana sedang badai pasir atau bagaimana Mbak? Sempat dengar kalau badai pasir pandangan mata pun sangat terbatas ya.
ReplyDeletelangitnya bagus banget, semoga saya bisa segera ke sana juga, amin :D
ReplyDeleteAMIIIIN!!!! #PakeToa
DeleteMAU KE MADINAH (dan kota lain juga) JUGA, YA ALLAAAAAAAAAAAAAAAH!!! :((((
ReplyDeleteAMIIIIIIIIIIN JEEEEEEENG!!! ^_^
ReplyDelete