Potongan surat cinta Kahlil Gibran untuk May Ziadah di atas, yang pernah dikirimkan oleh Tamara Geraldine kepada belahan jiwanya inilah yang secara tidak langsung menjadi pembuka percakapannya dengan HELLO! Indonesia. Perempuan cantik asal tanah Batak ini sukses menorehkan namanya di kancah dunia selebritas Indonesia. Pada satu sore yang tenang di sebuah kafe di bilangan Jakarta Pusat, kepada HELLO! Indonesia Tamara pun berkisah tentang perpisahan yang telah mengubah hidupnya, dan juga kemantapannya menatap masa depan.
JELANG SEBELAS TAHUN USIA PERNIKAHAN
Lama menghilang dari dunia layar kaca banyak yang bertanya-tanya kemana gerangan aktris yang kerap berpenampilan sporty ini. Dirinya seakan tenggelam menjauhi dunia keartisan dan menyibukan diri dengan dunia lain yang juga dicintainya, yaitu menulis dan berbisnis. Kehidupan pribadinya hilang dari radar awak media, hanya sedikit sekali berita tentangnya yang naik ke permukaan. Kabar tentang rumah tangganya pun tidak banyak beredar, semua berpikir bahwa rumah tangga perempuan yang pernah menggagas kompetisi Liga Basket Mahasiswa ini baik-baik saja. Sampai di pertengahan tahun 2014 lalu diketahui bahwa kini dia sudah berstatus janda, dan rumah tangganya dengan sang suami Thin Tien Pham, lelaki Warga Negara Vietnam, ternyata sudah kandas sejak tahun 2011 lalu. “Kalau ditanya kapan pastinya perpisahan itu terjadi, saya tidak ingat tanggalnya. Hal itu tidak menarik untuk diingat. Tetapi yang pasti sedikit lagi kami akan merayakan ulang tahun pernikahan yang ke-11. Namun, memang perpisahan itu sudah dimulai sejak tahun 2010,” ujar Tamara membuka perbincangan sore itu.
Baginya pernikahan seperti membuat perusahaan, dimana kedua belah pihak memiliki saham yang sama besar dan wajib menjalankan peran dalam porsi dan tempo yang sama. Namun sayangnya semua tidak berjalan sesuai dengan rencananya. “Saya merasa jadi pengusaha sendiri di sana, saya yang mengusahakan ini, mengusahakan itu dan ingin mendapatkan hasil yang terbaik. Tetapi sayangnya saat tidak ada komunikasi yang terjalin maka perusahaan itu akan punya titik berhenti juga,” tuturnya lagi.
Tamara mengatakan bahwa alasannya berpisah dengan sang suami adalah satu alasan yang dulu membuatnya ingin menikah dengannya. Latar belakang Thinh yang sudah berjuang mempertahankan diri sejak usia 13 tahun membuat Tamara jatuh hati. Ia sampai pada kesimpulan bahwa dirinya ingin mendirikan “perusahaan” dengan lelaki ini. “Saat itu juga saya mengajaknya untuk menikah,” ujarnya Tamara tersenyum. Jawaban Thinh hanya “Jangan repot-repot melamar saya, karena itu sebetulnya adalah tugas saya untuk melamar kamu,” tutur Tamara menirukan perkataan Thinh. Tamara dan Thinh pun menikah pada September tahun 2000 setelah dua bulan perkenalan dan tujuh bulan masa persiapan pernikahan mereka.
Pada masa awal pernikahan semuanya berjalan dengan baik dan bergerak dalam laju yang sama. Bagi Tamara, Thinh adalah suami yang sangat baik, tidak pernah mempermasalahkan pakem-pakem pasca pernikahan yang biasanya ada dalam kehidupan pasangan yang telah menikah. “Dia selalu memberikan comfort zone, membiarkan saya tetap menjadi diri sendiri. Hal yang selalu saya ingat sampai sekarang adalah prinsip bahwa dia tidak ingin memiliki seorang istri yang anteng di rumah tetapi istrinya malah menjadi ‘gila’,” cerita Tamara lebih lanjut. Bagi Thinh, Tamara adalah sosok perempuan yang perlu bereksplorasi dan berekspresi setiap harinya. “Karena dia tahu bahwa sebebas- bebasnya, saya tidak mungkin akan pulang jam dua pagi setiap hari. Dia tahu dan percaya bahwa Tamara ini tahu batasan yang dia miliki,” ujarnya lagi.
SAAT DIAM MENJADI CARA BERKOMUNIKASI
Waktu perkenalan yang singkat membuat Tamara lupa akan masalah konsep yang dibawa oleh individu tentang pernikahan. “Nah, yang saya missed waktu itu adalah fakta bahwa dia tumbuh sendirian tanpa bimbingan siapa pun. Menjadi pengungsi di usia muda, Thinh tidak sempat melihat bagaimana ayah dan ibunya menyelesaikan dan menghadapi masalah keluarga,” tutur ibu dari seorang putri cantik bernama Tjazkayaa Pham ini.
Kondisi Thinh yang tumbuh tanpa bimbingan ayah dan ibu membuatnya terjebak dalam satu kebingungan besar. “Perubahan perilakunya di tahun pertama dan kedua pernikahan memang tidak terlalu kelihatan, namun memasuki tahun ketiga mulai terlihat ekstrem dan saya tidak bisa menerima hal itu,” papar Tamara. “Ekstremnya dimulai dari hal kecil, seperti saat kita harus datang ke acara keluarga. Dia tidak mau bercengkerama dengan keluarga saya dan saya merasa dikecewakan. Padahal saya selalu berusaha untuk bercengkerama dengan keluarganya saat berkunjung ke Vietnam. Akhirnya, banyak kemarahan dia yang tidak bisa saya pahami tetapi juga tidak bisa saya cegah,” ujarnya.
Tahun ketiga pernikahan menjadi titik awal mereka berhenti berkomunikasi satu sama lain, banyak hal yang akhirnya ditakutkan bisa memicu pertengkaran jika dibicarakan. “Saat itu Thinh keukeuh dengan pendapatnya bahwa ‘bukan saya orang yang tepat buat kamu’, tidak lama setelah itu dia pergi menghilang dari rumah,” ujar Tamara sendu. “Hilang, benar-benar hilang. Tidak ada yang tahu kemana dia pergi,” lanjutnya lagi. “Sebelumnya memang saya pernah bertanya tentang apa yang dicarinya, saya menyarankan agar dia mencarinya dan beritahu saya kembali jika telah menemukan jawabannya. Setelah itu dia menghilang. Namun saya selalu yakin bahwa tidak akan ada jawaban apa pun di luar sana selain kembali kepada saya,” cerita Tamara.
“Hidup bersama free spirit seperti Thinh yang terbentuk karena usahanya untuk bertahan membuat hari-hari saya menjadi penuh dengan amarah meskipun hanya di dalam hati. Ketidakmampuan Thinh untuk berubah dan merasa selalu bersalah karena tidak mengerti bagaimana cara untuk mengimbangi konsep rumah tangga yang saya bawa dan gambaran kehidupan suami- istri yang tidak pernah dilihat dan dipelajari memberikan rasa marah pada dirinya sendiri,” tuturnya. “Intinya kami sama-sama marah, marah dalam bentuk yang tidak pernah diselesaikan dengan saling berkomunikasi. Dan ternyata satu-satunya di dunia ini yang diambil oleh anger is happiness,” lanjutnya lagi.
Dua tahun tidak menerima kabar apa pun darinya, Tamara tetap setia menunggunya. Piring-piring makan milik Thinh pun tidak pernah absen disiapkannya setiap waktu makan tiba. Namun di satu waktu Tamara akhirnya memutuskan untuk berhenti menunggu. “Saya berpikir, akan kemana ini ujungnya. Saya sudah berada di titik yakin bahwa dia tidak akan kembali, itu realitanya dan saya harus segera menyusun rencana hidup yang lain. Di satu malam, saya berdoa kepada Tuhan, bahwa saya ingin ‘menyingkirkan’ semuanya sekarang. Tetapi hamba mohon diberikan pengganti yang memiliki matanya, kulitnya dan juga rambutnya,” ujar Tamara lagi. Doa Tamara pun seketika dikabulkan oleh Tuhan, tepat keesokan harinya Baby K (nama panggilan Tjazkayaa hingga usia 7 bulan-red) muncul membawa lentera baru hidupnya.
PERI KECIL ITU BERNAMA TJAZKAYAA
Di satu pagi, bulan Oktober tahun 2004 Tamara mendapatkan satu telepon yang mengatakan seorang peri kecil siap menerangi kehidupannya. “I didn’t plan for it, I didn’t search for it, dia datang dengan caranya sendiri kepada saya,” tutur Tamara sembari tersenyum. “Bayi mungil itu muncul dengan semua kemiripannya dengan Thinh, matanya, kulitnya dan juga rambutnya,” lanjutnya. “Malamnya, saya pun berpikir bahwa Tuhan cepat sekali menjawab doa saya, mungkin memang ini saatnya saya melanjutkan kembali hidup saya,” kata Tamara yakin.
Tamara melanjutkan hidupnya dan disibukkan dengan pekerjaan baru menjadi seorang penulis. September 2005, saat dirinya harus meluncurkan buku pertama, kegundahan kembali menyerangnya. “Buku harus diluncurkan, namun saya terbaring di rumah sakit akibat penyakit liver. Belum lagi saya harus berhadapan dengan media untuk mempromosikan buku, pasti akan menimbulkan pertanyaan besar tentang kehidupan pernikahan saya jika melihat Thinh tidak ada di samping saya,” tuturnya. “Saat itu saya menyerahkan diri kepada Tuhan. Tuhan kalau memang ini jalannya biar nanti saya pikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. Tapi berilah kesehatan bagi diri saya, Tuhan. Saya ingin segera meluncurkan buku ini,” lanjutnya. Setelah itu Tamara pulang kerumah dan menemukan sang suami sudah ada di rumah. “Selain saya yang kaget, dia juga kaget dengan kehadiran bayi berusia tujuh bulan yang saya panggil Baby K,” ujar Tamara lagi. “Baby K merupakan kependekan dari Baby Kailan, sayur kesukaannya dan panggilan kesayangan saya kepada Thinh, saat itu dia protes keras,” “You name her after a sayur?!!,” ujar Tamara menirukan perkataan Thinh saat itu.
KAMI SUDAH BERUSAHA MEMPERBAIKINYA
Perpisahan mereka sepertinya tidak terelakkan lagi, berbagai macam cara ditempuh untuk menyelamatkan bahtera rumah tangga, namun kapal itu ternyata karam juga. Perpisahan pun terjadi karena hari demi hari rasa percaya diri Thinh kian menurun. “Dia merasa bersalah karena yang ada dalam pikirannya adalah ‘the lady next to me, she really doesn’t deserve me’, padahal berulang kali saya bilang bahwa ‘I’m happy like this’, tetapi dia tetap tidak paham” tutur Tamara. Resepsi ulang pernikahan pun digelar ditahun ketujuh pernikahan mereka. “Waktu itu dalam pidatonya ia menceritakan, bahwa di Vietnam kalau sudah bisa melewati tahun ketujuh pernikahan, kamu pasti bisa melewati tahun- tahun yang sudah menanti di depan. Saat itu saya pun berpikir bahwa dia sudah punya konsep pernikahan yang lebih matang. Saya mensyukurinya,” ujar Tamara lagi.
“Namun ternyata, di tahun kedelapan, hal yang sama kembali terulang. Jadi kalau memang dasarnya tidak pernah punya problem solving sampai kapan pun tidak akan punya. Dan kebodohan saya adalah saya juga bersikukuh dengan moto saya bahwa, in silence there is no rejection. Saya orangnya selalu takut tertolak. Padahal seharusnya tugas saya sebagai istri adalah mengajaknya menjadi lebih baik. Saya seharusnya mengingatkan dia akan rencana bayi tabung kami yang tertunda, kenyataannya saya malah takut nanti dia merasa ‘diserang’. Harusnya kami pergi konsultasi ke psikiater atau psikolog. Tapi daripada nanti hal itu membuat dia semakin tersinggung, so I didn’t do it,” ujarnya dengan nada menyesal. “Itu yang hingga saat ini saya masih berpikir harusnya dulu hal itu dilakukan,” tambahnya.
Tidak mencoba program bayi tabung adalah hal yang paling disesalinya seumur hidup. “Itu kerinduan Thinh yang terdalam sebetulnya. Tapi saya takut dengan pernyataan (yang datang dari Thinh juga) yang sering berkata ‘Honey, you are a bit fat’ and it scared me to death! Mungkin itu juga yang membuat saya sangat paranoid dengan kalimat ‘Gain weight? You look fresh!’ akhirnya sampai sekarang saya menjadi rajin diet dan maniak olahraga,” tuturnya lebih lanjut.
Komunikasi mereka kian memburuk, sampai mereka tidak pernah berbicara satu sama lain. Tahun kesembilan Tamara mencari cara untuk mempertahankan segalanya, kali ini ia berpikir mungkin jarak bisa menjadi solusinya. Tamara pun memutuskan untuk menolak ikut bersama Thinh ke Amerika. “Saya berpikir kalau dia di sana akan merindukan saya atau tidak, begitu juga sebaliknya.,” lanjutnya lagi.
SAATNYA MELANJUTKAN HIDUP
Keinginan Tamara dan Thinh untuk tidak terus-menerus membenci satu sama lain akhirnya menghadapkan mereka pada pilihan terpahit dan terbaik yang ada, yaitu berpisah. “Keberadaan Kay merupakan pertimbangan terbesar kami untuk berpisah, kami tidak ingin membuat Kay melihat orangtuanya bertengkar. Kami ingin dia bisa melihat bapak dan ibunya berada dalam kondisi terbaik mereka,” lanjutnya lagi.
Janji Thinh bahwa mereka akan tumbuh tua bersama dengan hubungan cinta yang jauh lebih baik membuat Tamara menyetujui satu-satunya jalan keluar yang ada. “Ternyata sampai tahun kelima perpisahan ini semuanya memang jauh lebih baik,” ujar Tamara tersenyum.
Perpisahan ini pun hanya diceritakan kepada kedua orangtua mereka. Hidup Tamara hancur saat Thinh pergi keluar darirumah, “Bukan hanya depresi berat yang saya alami. Saya pingsan selama tujuh hari. Saya bahkan tidak menyangka bahwa imbasnya akan sekuat itu kepada diri saya. Banyak perubahan terjadi pada diri saya, teman-teman juga melihat gelagat aneh saya dalam pergaulan, dan akhirnya mereka semua meninggalkan saya,” tuturnya muram.
Perpisahan juga dirasakan berat oleh putri semata wayangnya Tjazyakaa. “Namun hubungan Kay dan Panda (panggilan Kay kepada ayahnya – red) terjalin dengan sangat baik, layaknya Galih dan Ratna. Baginya Panda adalah cinta pertamanya pada seorang lelaki,” ujar Tamara lagi. Dirinya mengakui jika saja mereka tidak dipisahkan oleh jarak maka Tamara akan membebaskan Kay bertemu dengan ayahnya kapan saja.
Harapan Tamara adalah Kay bisa memahami realita bahwa Inang (panggilan Kay kepada ibunya-red) dan panda sudah berpisah. “Sampai dua tahun lalu, dia masih belum bisa paham dengan jawaban kenapa orangtuanya harus berpisah,” wajah Tamara terlihat sendu. “Kami mengatakan bahwa alasan kami berpisah adalah karena sudah tidak cocok,” ujarnya lagi. Alasan yang ternyata tidak bisa diterima oleh Kay.
Saat pengadilan akhirnya secara resmi memutuskan perpisahan Tamara dan Thinh, di lubuk hati terdalam perempuan yang belum lama ini mengeluarkan kumpulan cerpen keduanya berjudul 1874 ini mengakui masih menyimpan harapan bahwa Thinh akan kembali kepadanya. “Saya sempat berpikir, kalau dulu dia pernah hilang selama tiga tahun dan kembali, masa iya kali ini dia tidak akan kembali melalui pintu yang sama, since he still know where to find us,” tutur Tamara.
Semuanya dimulai saat Thinh menikah lagi dan meyakinkan Tamara bahwa ia harus move on. “Itu juga yang mendorong saya membuka diri tentang kondisi saya saat ini. Lagipula kita memang berpisah secara resmi, Thinh punya hak untuk melanjutkan hidupnya, untuk menikah lagi. Kami memang sudah selesai,” Tamara menambahkan.
“Saat ini saya berada di fase move on dan bounce back. Sempat merasa aneh saat banyak yang berkata bahwa kehidupan yang saya sekarang jauh lebih enak dibanding dengan mereka sebagai orang menikah. Dengan kondisi ini saya bisa kembali ke passion saya dulu seperti hiking, tapi tetap saja saat saya pulang ke rumah, semua kembali sepi,” “Mungkin semua ini karena pernikahan dan juga perpisahan yang saya alami itu sesungguhnya menyenangkan. Kami menyelesaikan semuanya secara baik-baik,” ujar Tamara. “Saya juga tidak pernah merasa trauma untuk berhubungan dengan orang lain dan menikah lagi,” tambahnya tegas.
SEMUA UNTUK KAY
Keputusannya untuk terbuka memberikan dampak yang sangat positif dalam kehidupannya. “Satu saat Papa saya menanyakan apa rencana yang akan saya kerjakan ke depan,” ujar Tamara. “Kamu move on saja dan kamu perlu tahu bahwa papa adalah orang terakhir di dunia yang perduli sama omongan orang yang menurut Papa tidak mengerti kamu sama sekali,” ujarnya menirukan ucapan sang ayahanda, lalu ia pun memutuskan untuk berterus terang pada sang nenek.
Sang nenek yang selama ini dikhawatirkan akan terpukul justru menjadi sosok yang menguatkan hati Tamara, “Janganlah kamu merasa kecewa kepada Tuhan, karena Tuhan itu dekat sekali dengan orang- orang yang patah hati,” ujarnya mengulang nasihat sang nenek yang diberikan padanya.
Penyesalan pernah menghampirinya dulu, namun kini dia merasa tidak ada satu pun hal yang perlu disesali. “Saya mempelajari kebenaran dari berbuat kesalahan,” tutur Tamara lagi. “Saya hanya ingin memastikan bahwa Kay belajar mencari kebenaran bukan dengan cara ibunya,” tambahnya lagi.
Kehidupannya sekarang dicurahkannya untuk Kay. “Saya memang mempunyai niat untuk menikah lagi, tetapi semuanya masih dalam angan-angan. Kalau nanti rezekinya menikah cepat dan juga di beri kesempatan memiliki anak lagi berarti akan ada pengalaman baru yang saya alami. Tetapi kalau tidak, bersama Kay adalah hidup saya,” ujar Tamara sembari tersenyum. Tamara juga berharap bisa menulis satu buku biografi tentang dirinya, yang menceritakan semua kisah kehidupannya. “Target pembelinya hanya satu, yaitu Kay. Buku itulah yang akan bercerita semua tentang ibunya. Kalau nanti saya tiba-tiba menikah lagi dan mempunyai lima orang anak misalnya, ya saya tinggal menaikkan target penjualan menjadi enam eksemplar,” ujarnya tergelak sekaligus menutup perbincangan sore itu.