Article on HELLO! Indonesia, Edisi Oktober 2014. Lola Amaria.
Jatuh cinta dengan dunia balik layar, itu adalah kalimat yang bisa menggambarkan seorang Lola Amaria, kali ini saya mendapatkan waktu untuk mewawancarai sosok perempuan independen ini. Tentang karya terbarunya dan bagaimana ia akhirnya terjun bebas ke dunia balik layar...
MENGAWALI KARIER DI LAYAR KACA
LOLA AMARIA KINI HADAPI TANTANGAN DI BALIK LAYAR
LOLA AMARIA KINI HADAPI TANTANGAN DI BALIK LAYAR
Lola Amaria, perempuan berdarah Palembang-Sunda ini memulai kariernya dengan menjuarai kontes kecantikan pada tahun 1997. Dikenal di layar kaca setelah sukses membintangi tokoh Sila di sinetron Penari, Lola melakukan debut layar lebar tahun 2000 di film berjudul Tabir. Salah satu filmnya yang meledak di pasaran adalah Ca Bau Kan (2002). Puas menjelajah dunia depan layar, Lola penasaran terjun ke dunia belakang layar. Tahun 2004, Lola memulai karier sutradaranya dalam film Novel Tanpa Huruf R.
Film terakhir yang dikerjakan?
“Judulnya Negeri Tanpa Telinga. Film ini bercerita tentang politik, kekuasaan dan seks yang disajikan dalam bentuk komedi satir.”
“Judulnya Negeri Tanpa Telinga. Film ini bercerita tentang politik, kekuasaan dan seks yang disajikan dalam bentuk komedi satir.”
Apa alasan Anda memilih film dengan tema politik yang bernuansa komedi?
“Awalnya saya membuat film ini karena melihat kondisi politik di Indonesia. Tema yang diangkat cukup berat, akhirnya saya memilih menyajikannya dalam nuansa komedi satir.”
Apa pesan yang ingin disampaikan dalam film ini?
“Saya berkecimpung di dunia film, maka saya mencoba membuat film yang bisa menyampaikan pesan dan harapan. Semoga dalam kabinet baru, tidak ada korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, skandal seks, dan uang negara benar-benar digunakan demi kesejahteraan rakyat. Semoga Indonesia menjadi jauh lebih baik.”
Kapan mulai tertarik di dunia balik layar?
“Awal tahun 2000, tapi resmi di belakang layar sekitar tahun 2003. Tantangan di belakang layar lebih banyak, baik dari segi penulisan naskah, penyutradaraan, maupun produksi. Alasan lainnya adalah usia. Di Indonesia, artis itu punya ‘masa tayang’, biasanya selesai di umur 35 tahun. Berbeda dengan Amerika, tokoh senior masih bisa mendapat peran utama, bahkan meraih penghargaan seperti piala Oscar.”
“Awal tahun 2000, tapi resmi di belakang layar sekitar tahun 2003. Tantangan di belakang layar lebih banyak, baik dari segi penulisan naskah, penyutradaraan, maupun produksi. Alasan lainnya adalah usia. Di Indonesia, artis itu punya ‘masa tayang’, biasanya selesai di umur 35 tahun. Berbeda dengan Amerika, tokoh senior masih bisa mendapat peran utama, bahkan meraih penghargaan seperti piala Oscar.”
Tokoh yang menginspirasi untuk terjun ke dunia belakang layar?
“Banyak tokoh seperti Jodie Foster, Joan Chen, Drew Barrymore, Tom Hanks, Ben Affleck, dan Madonna. Mereka berangkat dari depan layar, namun sudah menjadi tokoh di balik layar. Sementara tokoh dalam negeri antara lain Rima Melati, Christine Hakim, Mira Lesmana, dan Nia Dinata. Mereka sebagian dari perempuan perkasa yang menghidupkan kembali perfilman Indonesia dari awal tahun 2000-an hingga saat ini.
Pendapat Anda tentang citra film Indonesia saat ini?
“Menyedihkan. Karena di saat penonton menemukan satu film Indonesia yang buruk, lalu mereka beranggapan bahwa semua film Indonesia itu buruk, sehingga ketika ada film bagus yang ditayangkan, mereka tetap tidak mau menonton. Ini juga tugas semua pihak untuk terus memajukan dan mempromosikan film Indonesia.”
“Menyedihkan. Karena di saat penonton menemukan satu film Indonesia yang buruk, lalu mereka beranggapan bahwa semua film Indonesia itu buruk, sehingga ketika ada film bagus yang ditayangkan, mereka tetap tidak mau menonton. Ini juga tugas semua pihak untuk terus memajukan dan mempromosikan film Indonesia.”
Harapan terhadap perfilman Indonesia?
“Saya selalu berpikir positif dan berharap yang terbaik bagi perfilman Indonesia. Semoga mutu film Indonesia lebih baik lagi, sistem juga lebih mendukung. Ada dukungan dari lembaga, investor, dan juga bertambahnya jumlah bioskop. Jumlah bioskop itu sangat penting supaya film Indonesia bisa tayang lebih banyak dan tidak didominasi oleh film asing. Terlebih saat digempur oleh film-film blockbuster Hollywood.”
“Saya selalu berpikir positif dan berharap yang terbaik bagi perfilman Indonesia. Semoga mutu film Indonesia lebih baik lagi, sistem juga lebih mendukung. Ada dukungan dari lembaga, investor, dan juga bertambahnya jumlah bioskop. Jumlah bioskop itu sangat penting supaya film Indonesia bisa tayang lebih banyak dan tidak didominasi oleh film asing. Terlebih saat digempur oleh film-film blockbuster Hollywood.”
Hobi seorang Lola Amaria?
“Hobi saya traveling, nonton, membaca buku, dan diving. Penulis favorit saya salah satunya Paulo Coelho. Tulisan Coelho sangat mudah dicerna. Kisah yang dia tulis tidak berbeda jauh dengan kisah yang ada di Indonesia. Membaca bukunya bagaikan membaca buku harian sendiri. Untuk travel, lokasi favorit saya di wilayah Timur Indonesia, seperti NTT, Ambon, Flores, dan Raja Ampat.
“Hobi saya traveling, nonton, membaca buku, dan diving. Penulis favorit saya salah satunya Paulo Coelho. Tulisan Coelho sangat mudah dicerna. Kisah yang dia tulis tidak berbeda jauh dengan kisah yang ada di Indonesia. Membaca bukunya bagaikan membaca buku harian sendiri. Untuk travel, lokasi favorit saya di wilayah Timur Indonesia, seperti NTT, Ambon, Flores, dan Raja Ampat.
Sumber: Majalah HELLO! Indonesia, Oktober Edition
Rubrik: Di balik Layar
No comments:
Post a Comment