Letkol Gogor Aditya: Perjuangan Mengejar Cita-Cita Jadi Tentara Tanpa Restu Orangtua

Article on Qerja.com, Star Leader. Letkol Gogor Aditya
Letkol Gogor Aditya:
Perjuangan Mengejar Cita-Cita Jadi Tentara Tanpa Restu Orangtua
by Syahrina Pahlevi

 
Menjadi seorang tentara adalah salah satu cita-cita yang kerap dikatakan seorang anak saat masih kecil. Gambaran seseorang dengan seragam lengkap, berbadan tegap, dan bertugas menjaga keutuhan NKRI pasti terlihat sangat menarik bagi seorang anak. Bagi cukup banyak orang, impian menjadi tentara bisa terwujud jadi nyata, seperti yang terjadi pada Komandan Batalyon Infanteri Mekanis 201/ Jaya Yudha, Letnan Kolonel Infanteri Mohammad Imam Gogor A. Aditya.

Kepada Qerja, Letkol Gogor menuturkan bagaimana dirinya memulai karir di dunia militer hingga menjadi anggota pasukan pengawal presiden dan kini sebagai komandan batalion, meski awalnya tak disetujui ibundanya sendiri. 

Di mana Anda lahir?

Saya lahir di Kediri, 16 Februari 1977, 38 tahun yang lalu.

Apakah ada kebiasaan kecil yang masih Anda lakukan hingga sekarang?

Kebiasaan waktu kecil, saya ini dari kecil sepertinya tidak pernah mempunyai hobi yang cukup menarik. Paling waktu kecil sering main panas-panasan.

Tapi kalau tentang makanan yang dari kecil hingga sekarang pasti akan saya makan itu ada. Dari kecil, saya senang sekali makan nasi putih hangat, lauknya cukup dengan kerupuk dan kecap saja. Itu saja, dari dulu kalau makan dengan lauk seperti itu saya malah bisa habis hingga dua piring.

Bagaimana Anda memulai kegiatan Anda setiap harinya?

Kalau setiap pagi, biasanya saya bangun untuk menunaikan ibadah solat Subuh bersama istri. Setelah itu rapi-rapi sebentar, lalu biasanya saya lari minimal sekitar 5 kilometer setiap harinya. Apalagi sekarang posisi saya di Batalion, sekalian saja ikut lari bersama pasukan. Biasanya sih senam dulu, baru kemudian lari.

Coffee or tea?

I prefer to choose mineral water. Saya sama sekali tidak pernah minum kopi atau teh di pagi hari. Setiap bangun tidur pasti langsung minum air putih. Biasanya saya baru minum teh atau kopi setelah saya lari pagi. Itu juga kalau memang kebetulan sudah dibuatkan di ruangan saya.

Apakah Anda memiliki hobi?

Hobi, karena tidak pernah terlalu menyukai sesuatu secara khusus, sepertinya saya tidak pernah punya hobi yang juga spesifik. Paling sekarang ini saya senang lari, lalu juga sedang mendalami dunia menembak dengan senapan. Kalau memang sedang ada kesempatan mengunjungi negara lain, saya kerap membeli kaos dari Hard Rock Café saja.

Kalau membaca atau nonton?

Membaca buku dulu saya suka, tetapi sekarang tidak. Kalau nonton, lumayan senang juga, saya suka film-film seperti Matrix, The Bourne Trilogy, dan Mission Impossible.

Bagaimana Anda menghabiskan akhir pekan?

Saya ini sebenarnya termasuk orang rumahan, tidak begitu suka keluar rumah. Jadi kalau weekend paling di rumah. Kalau istri saya Irma sedang sempat memasak, ya kami makan bersama di rumah. Kalau memang sedang ingin keluar, biasanya kami nonton atau makan.

Justru biasanya saya selalu menyediakan waktu untuk keluar bersama istri saya di hari kerja, karena jam kerjakami membuat kami hanya bisa bertemu di malam hari, setelah ia pulang kantor dan saya selesai bekerja di Batalion. Biasanya saya menyediakan waktu untuk minimal keluar makan bersama dengannya, paling hanya sekadar makan di angkringan atau restoran ayam kremes yang posisinya tidak terlalu jauh dari Batalion. Biasanya dari hari ke hari, kami keluar makan paling tidak selama tiga hari.

Bisa ceritakan tentang latar belakang pendidikan Anda?

Sampai SMP saya sekolah di Kediri, setelah itu SMA saya sekolah ke Magelang di SMA Taruna Nusantara. Saya adalah murid SMA Taruna Nusantara angkatan ke-3. Kenapa Taruna Nusantara, karena saya dari dulu memang ingin sekali menjadi seorang tentara. Jadi itulah alasan kuat saya masuk SMA Taruna Nusantara. Saat itu saya berpikir bahwa akan lebih mudah masuk ke Akademi Militer jika saya adalah lulusan dari SMA Taruna Nusantara dibanding saya masuk di SMA biasa. Karena selain lokasinya yang memang dekat dengan Akademi Militer, di SMA Taruna Nusantara sendiri juga kami memang sudah dididik semi militer.

Jadi tahun 1992, saya masuk di SMA Taruna nusantara, lalu lulus di tahun 1995. Selesai dari SMA Taruna Nusantara, saya masuk di Akademi Militer selama 3,5 tahun dan selesai pendidikan di akhir tahun 1998. Saat itu status lulusan Akademi Militer itu sejajar dengan D4 namun belum ada gelar sarjananya seperti sekarang. Sejak lulus di tahun 1998, maka total sudah sekitar 17 tahun masa dinas yang saya jalankan.

Kalau di bidang pendidikan militer, setelah Akademi Militer, saya mengikuti kursus yang namanya kursus kecabangan. Jadi seorang perwira Letnan Dua itu harus punya kecabangan, dan kebetulan kecabangan yang saya ambil itu Infanteri. Nah, saat itu saya harus bersekolah lagi di sekolah infanteri, di Pusat Pendidikan Infateri (Pusdikif) di Bandung selama sembilan bulan.

Setelah itu saya masuk di kesatuan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Awalnya saya berpikir akan ditempatkan di salah satu brigade Kostrad yang ada di pulau Jawa, tapi ternyata Kostrad itu masih memiliki satu brigade di luar Pulau Jawa. Lokasinya jauh dari Makasar masih sekitar 45 kilometer, nama daerahnya Kariango, di sana saya bertugas sekitar 9-10 tahun.

Setelah penugasan di Kariango, untuk bisa naik ke jabatan Mayor, saya harus kembali sekolah di Sekolah Lanjutan perwira (Selapa), karena kalau tidak menjalani Selapa, kenaikan pangkat hanya bisa sampai Kapten tidak bisa ke pangkat Mayor. Sebelum Selapa itu saya menjalani dua kali tes. Tes pertama saya gagal, karena faktor kuota. Lalu tahun kedua saya berhasil masuk Selapa dengan penempatan di Yogyakarta pada tahun 2009.

Sampai setelah kejadian meletusnya Gunung Merapi di tahun 2010, saya kemudian pindah ke Magelang. Saat di Yogyakarta saya menjadi seorang Perwira Seksi Pembina Perlawanan Wilayah (Pasi Binwanwil) atau dikenal juga dengan Perwira Seksi Pembina Ketahanan Wilayah (Pasi Bintahwil), kami mengurus tentang potensi-potensi keamanan daerah yang rawan perang.

Setelah itu tahun 2010, saya pindah menjadi Wakil Komandan Komando Pendidikan Jurusan (Wadan Dodikjur) di Magelang. Itu juga merupakan bagian dari pendidikan Selapa yang sedang saya jalani. Saya menghabiskan waktu sekitar enam bulan di Dodikjur, lalu saya menjalani pendidikan Sekolah Staff dan Komado (Sesko) di Bandung.

Jadi seorang perwira untuk bisa naik dari pangkat Mayor ke Letna Kolonel (Letnan Kolonel) kami perwira harus menjalani pendidikan Sesko di Bandung. Nah, pendidikan Sesko ini yang berat. Pendidikan ini kerap menjadi momok menjadi para perwira TNI, karena pendidikan dan juga ujiannya benar-benar berat sekali.

Tetapi alhamdulillah saya diberikan kemudahan. Saat saya ditempatkan menjadi seorang Wadan di Dodikjur, teman-teman yang lain jabatannya sudah lebih elit, menjadi Wadan Yonif (Batalyon Infanteri) misalnya. Belum pernah ada sejarahnya seorang perwira akmil itu menjadi Wadan di Dodikjur, baru saya saja. Ya mungkin karena menjadi seorang Wadan Dodikjur itu dinilai kurang bergengsi, tidak seperti Wadan Secaba (Sekolah Calon Bintara) atau Wadan Secapa (Sekolah Calon Perwira). Saya sempat berpikir kenapa tidak ada yang mau menjadi Wadan di sana, padahal di Dodikjur itu enak, saya memiliki waktu yang jauh lebih banyak untuk belajar, waktu pembinaan fisik saya juga lebih banyak. Mungkin hal itu juga yang memudahkan saya melalui tes Sesko.

Saya masuk di Sesko tahun 2011/2012, pendidikan selama satu tahun. Lalu di akhir tahun 2012, saya ditarik masuk ke Pasukan Pengaman Presiden (Paspamres). Kenapa saya bilang ditarik, karena setelah menyelesaikan Sesko, saya memang belum mempunyai tujuan mau ke mana, tapi ternyata mantan Komandan saya di Kariango mengajak saya masuk ke dalam Paspamres. Yasudah akhirnya saya masuk di Paspampres dari tahun 2012 hingga Juni 2015 lalu. Hampir tiga tahun dan melewati dua masa pemerintahan yang berbeda.

Bagaimana cerita tentang perjalanan karir Anda di Paspampres hingga akhirnya menjadi seorang Komandan Batalyon?

Awal bergabung di Paspampres itu saya menjadi seorang Perwira Bantuan Madya Staff Operasi (Pabandya Op), yang tugasnya mengoperasionalkan seluruh kekuatan Paspampres, baik dari grup A untuk Presiden, grup B untuk wakil Presiden, grup C untuk tamu-tamu negara, dan juga grup D untuk para mantan Presiden dan Wakil Presiden. Jadi tim saya meramu semua kekuatan yang ada untuk operasional Paspamres. Dan Paspampres itu berbeda dengan satuan biasa, Paspampres adalah satuan yang operasionalnya berjalan setiap hari sepanjang tahun. Tugas utamanya ya mengamankan Presiden dan Wakil Presiden, termasuk saat ada Konferensi Tingkat Tinggi yang berlangsung

Menjelang pemerintahan Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) selesai, saya mendapatkan kesempatan ikut kursus Komandan Batalion. Itu selama satu setengah bulan. Setalah selesai mengikuti pendidikan Komandan Batalion, saya ditempatkan di Detasemen Pengawalan Pribadi, yang menempel langsung kepada Presiden. Saya akhirnya menjadi Komandan Detasemen (Danden) di grup A dan mundur dulu dari kesempatan menjadi seorang Komandan Batalion (Danyon). Padahal saat itu posisinya saya sudah siap menjadi seorang Danyon.

Sebenarnya secara karir, seorang Danden dan Danyon itu berada di level yang sama, tetapi bagi seorang prajurit Infateri kalau belum menjadi Komandan Batalion rasanya ada yang kurang.

Tapi saat itu saya merasa tidak ada salahnya juga saya menjadi seorang Danden sebelum menjadi Danyon. Hitung-hitung juga menambah pengalaman saya. Penugasan terakhir saya dengan pak SBY itu adalah rangkaian kunjungan ke Papua, dari Papua lalu ke Timur Leste lanjut masuk ke BDF (Bali Democracy Forum). Itu tugas terakhir saya dengan Pak SBY, setelah itu saya sudah disiapkan untuk menjadi Danden siapapun kandidat Presiden baru yang menang, pada waktu itu antara Pak Jokowi atau Pak Prabowo. Saya salah satu dari empat Dandem yang ada. Empat Danden ini akan dibagi menjadi dua, satu tim ditempatkan bersama dengan grup A, dengan Presiden baru, satu tim ditempatkan dengan mantan Presiden.

Saya seharusnya bergabung dengan grup A. Tapi di lapangan saya sempat harus tetap menempel dengan tim lama yaitu dengan Pak SBY. Saat saya berangkat ke Papua, ternyata Pak Jokowi ditetapkan oleh KPU sebagai Presiden yang baru, sehingga tim yang satu lagi harus segera naik, sementara tim yang harusnya mengantikan saya juga sedang mengawal Pak SBY. Akhirnya tim baru dipegang oleh seorang perwira baru, sementara saya masih terus mengawal tim Pak SBY hingga BDF. Selesai dari BDF baru saya terjun ke tim Presiden baru, mengawal Pak Jokowi.

Setelah itu, saya lanjut bertugas di grup A terus sampai pelantikan di bulan Oktober 2014. Saya bertugas dengan Pak Jokowi hingga bulan Juni, tetapi posisinya sebenarnya saya sudah mendapat Surat Keputusan (SKET) untuk menjadi Komandan Batalion di Batalion Infanteri Mekanis 201/ Jaya Yudha. Tetapi saya sempat tertahan karena belum ada yang mengantikan saya menjadi Danden di grup A. Akhirnya saya sempat mangkir selama dua bulan dari jabatan Komandan Batalion. Tugas terakhir saya dengan pak Jokowi adalah saat pernikahan Mas Gibran (anak Jokowi – Red). Selesai acara saya pamit kepada bapak (Jokowi) lalu serah terima jabatan di sini pada tanggal 26 Juni 2015. Hingga sekarang saya pun akhirnya bertugas menjadi Komandan Batalion di Batalion Infanteri Mekanis 201/ Jaya Yudha.

Di antara semua profesi yang ada, kenapa Anda memilih menjadi seorang Tentara?

Dulu sejak kecil, saat saya ditanya oleh kakek, "Mau jadi apa, Le?" jawaban saya selalu menjadi tentara. Saya juga tidak tahu mendapat keinginan menjadi tentara itu dari mana. Di kampung saya di Kediri memang ada Batalion 521, tetapi posisi rumah saya juga jauh dari Batalion. Saya juga tidak hidup di lingkungan tentara, karena sejauh yang saya tahu belum ada tetangga saya yang menjadi seorang prajurit.

Sebenarnya jawaban saya itu sempat membuat Ibu saya gelisah. Beliau menganggap behawa jawaban tersebut hanya bunga masa kecil saya saja, seiring berjalannya waktu pasti keinginan tersebut akan berubah. Tapi masuk kelas 6 SD saya masih ngotot ingin mejadi tentara. Saat saya masuk kelas 3 SMP saya mengetahui bahwa salah seorang kakak kelas saya ada yang masuk di SMA Taruna Nusantara, wah... itu semangat saya semakin menggebu-gebu.

Kalau ada yang bertanya kenapa tentara bukan polisi, nah, itu saya juga bingung karena dari awal saya mengatakan ingin menjadi tentara dan tahunya tentara itu ya Angkatan Darat. Sampai SMA, saya sempat berubah ingin menjadi seorang pilot karena pada saat itu ada kakak kelas saya, angkatan pertama di Taruna nusantara, yang diterima di Garuda Indonesia. Dia disekolahkan ke New Zealand, hal itu menarik bagi saya. Namun rasanya memang bukan nasib saya menjadi seorang pilot, saat saya sudah masuk tingkat tiga program Garuda Indonesia itu di-pending.

Akhirnya saya kembali ke tujuan awal saya menjadi seorang tentara. Saat itu saya sudah bisa melihat bahwa ada Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Akademi Polisi. Saya sempat ingin menjadi seorang AU, tetapi ternyata disposisi yang diberikan kepada saya lebih berat ke Angkatan Darat, ya sudah akhirnya saya masuk di Angkatan Darat.

Saya menjadi seorang tentara itu rasanya adalah perwujudan dari doa saya sejak kecil, karena orangtua saya pada dasarnya tidak ada yang setuju saya menjadi tentara.

Kalau begitu kondisinya, lalu bagaimana dukungan orangtua Anda terhadap karir Anda?

Waktu akhirnya saya memutuskan untuk masuk di Taruna Nusantara, orangtua saya sudah tidak setuju. Ibu saya bilang, "Sudah, SMA-nya di sini (Kediri) saja, nanti baru kuliahnya di sana,” karena Ibu saya tahu kalau sampai saya masuk di Taruna Nusantara pasti kelak saya akan menjadi seorang tentara. Ibu saya bahkan sampai tidak memberikan tanda tangannya di Surat Izin Sekolah, akhirnya nekat sampai saya palsukan. Setelah itu sebelum kegiatan belajar dimulai, ibu dan saya pun dipanggil ke sekolah.

Pulang dari sana, hampir sebulan ibu tidak mau berbicara dengan saya. Sempat tidak mau saya antar jemput dari rumah ke apotek tempatnya bekerja. Sampai akhirnya ibu dimarahi oleh nenek. Nenek bilang, anak mau maju kok malah tidak didukung. Akhirnya saya pun mendapatkan restu dari ibu untuk bersekolah di Taruna Nusantara.

Selesai menempuh pendidikan di Taruna Nusantara, saat pengumunan kelulusan saya bilang lagi kepada Ibu bahwa saya mau jadi tentara. Setelah itu kembali ibu tidak mau ngomong sama saya. Selesai masa basis tiga bulan, ibu datang ke lokasi pendidikan dan akhirnya beliau berkata, "Ya sudahlah, Le, terserah kamu mau jadi apa." Akhirnya saya menjadi seorang tentara hingga sekarang.

Seperti apa tantangan yang dihadapi Letkol Gogor selama mengemban tugas? Simak lanjutan wawancaranya hari Kamis nanti di Qerja Star Leader.


Link on Qerja.com


2 comments:

  1. wow keren.... ceritanya detail sekali
    kebetulan kakak saya jg seorang tni ad...
    waktu daftar di akmil, jg tanpa sepengetahuan org tua,
    alhamdulillah lolos dan sukses hingga sekarang...

    terima kasih ceritanya mbak syahrina...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mbak Avy, terimakasih juga sudah mampir dan membaca blog saya. Salam hormat untuk kakak Mbak Avy, semoga sukses selalu.

      Delete