Melinda Babyanna dan Kepeduliannya Terhadap Isu Perempuan
Article on Qerja.com, Star Leader. Melinda Babyanna
Melinda Babyanna dan Kepeduliannya Terhadap Isu Perempuan
Melinda Babyanna dan Kepeduliannya Terhadap Isu Perempuan
by Syahrina Pahlevi
Lebih dari 15 tahun Melinda Babyanna, Editor in Chief majalah Marie
Claire Indonesia, bergulat dengan berbagai isu tentang perempuan. Tak
heran jika hal ini membentuknya menjadi pribadi yang sangat
peduli dengan dunia perempuan. Kepada Qerja, ia bertutur tentang
beberapa isu penting yang menjadi perhatiannya hingga saat ini.
Di mana Anda lahir?
Saya lahir di Jakarta tahun 1978. Lahir, besar, dan bersekolah di Jakarta.
Bagaimana Anda menjalani pagi hari? Are you a tea or coffee person?
Saya tea person, walaupun belakangan saya juga senang minum kopi. Tetapi tidak di pagi hari. Paling saat waktu lunch atau di sore hari.
Bagaimana Anda menghabiskan waktu akhir pekan?
Kebetulan sekarang saya sudah punya anak, dan dua-duanya perempuan.
Saya juga termasuk orang yang senang menghabiskan waktu dengan keluarga
saat akhir pekan. Belum lagi saat weekdays waktu saya sudah tersita untuk pekerjaan dan juga bersosialisasi, jadi akhir pekan artinya family time, sudah di-booking tetap oleh suami dan anak saya.
Terkadang juga kalau akhir pekan saya suka sesekali me time, dan berhubung anak saya sudah berusia sembilan tahun, sesekali saya juga mengajak dia untuk me time
bersama. Kami ke spa atau pergi ke toko buku bersama. Hal-hal simpel
sih, kalau sedang ingin olahraga outdoor kami pergi ke Senayan, atau
ikut Car Free Day. kebetulan saya juga lebih suka mengajak anak-anak
saya untuk kegiatan di luar mall. Jadi kalau sedang ingin makan di luar
juga kami mencari restoran outdoor yang tidak menempel dengan mall.
Kalau hobi Anda?
Hobi saya kebanyakan olaharaga. Suka sekali dengan sepatu roda. Tapi
sayangnya sekarang sudah tidak ada lagi. Dulu saya bermain sepatu roda
dari SD kelas 1 sampai kelas 6. Sempat juga mengikuti banyak kompetisi,
sering main di Monas, bahkan sampai ikut kejuaraan sepatu roda di
tingkat nasional. SMA saya bergabung di olahraga softball ikut junior
softball, lalu juga gemar olahraga atletik. Kalau dulu lebih kepada
olahraga yang benar-benar olahraga sementara sekarang paling olahraga
outdoor seperti berenang. Biasanya saya berenang bersama anak saya.
Belakangan ini saya juga sedang gemar datang ke berbagai pameran-pameran indie yang mensupport local brand.
Kebanyakan pameran ini isinya adalah anak-anak muda berbakat di
Indonesia. Traveling juga saya suka, tapi sekarang karena baru punya
anak lagi jadi travelingnya agak dikurangi
Kalau membaca?
Suka juga, tapi biasanya buku yang saya baca lebih ke autobiografi.
Sekarang sedang membaca buku tentang Hillary Clinton, mengingat cukup
banyak juga kontroversi tentang dia terkait majunya dia menjadi calon
presiden di Amerika Serikat. Banyak yang bilang itu hanya sekadar
pencitraan, ada juga yang bilang kalau skandal-skandal yang terjadi
memang sudah direncanakan untuk mendukungnya naik tahun ini. Saya
penasaran makanya ingin membaca seperti apa sebenarnya.
Di mana Anda berkuliah?
Saya kuliah di jurusan Hubungan Internasional, Universitas
Parahyangan Bandung, dan juga di jurusan Mass Communication di London
School of Public Relations Jakarta, kalau tidak salah ingat saya adalah batch pertama di sana.
Apakah pelajaran yang Anda dapatkan di kampus mendukung karir Anda sekarang?
Kalau di jurusan HI kami banyak membahas tentang politik
internasional, saya dulu sempat bercita-cita menjadi seorang diplomat.
Tapi waktu itu juga saya melihat peluang lain yang bisa saya kerjakan
lebih cepat, saya pun berpikir kenapa tidak di majalah saja. Tapi ilmu
yang saya dapatkan di HI itu juga menjadi fondasi bagi saya saat
diundang untuk menghadiri konferensi tingkat internasional Marie Claire
yang dihadiri oleh 34 negara. Menjadi dasar untuk mengomunikasikan
bagaimana sesungguhnya kondisi Indonesia. Karena di luar sana masih
banyak yang berpikir bahwa Indonesia itu negara yang miskin, bahkan
pernah ada yang bertanya apakah di Indonesia itu ada televisi atau
tidak.
Kalau di LSPR banyak sekali ilmu dasar jurnalistik yang saya
dapatkan. Saya dulu juga sempat diajar oleh Arief Suditomo. Belum lagi
pendiri LSPR, Ibu Prita Kemal Gani, juga sangat mendukung terhadap
kemajuan mahasiswanya. Ilm-ilmu dasar PR juga masih terus saya terapkan
sampai sekarang. Karena di Marie Claire, tim dari level dasar saja sudah
harus mampu mem-PR-kan dirinya. Apalagi kalau mereka sudah membawa
embel-embel Marie Claire. Bagaimana mereka membawa diri mereka, publik
speaking mereka. Hal-hal tersebut sangatlah penting terutama di dunia
media seperti kami.
Apakah ada isu terkini yang menarik perhatian Anda?
Isu yang menarik perhatian saya banya sekali ya, terlebih Marie Claire sendiri adalah majalah fashion tetapi we are the only one who are concerned with social issue.
Terutama isu perempuan. Itu juga alasan saya pindah ke majalah Marie
Claire, pertama karena memang waktu di majalah sebelumnya kiblat kami
adalah Marie Claire. Kedua dulu saya pernah bilang sama suami kalau one day
saya harus jadi Editor In Chief marie Claire. Dulu sih terdengat tidak
mungkin karena saat itu majalah ini juga belum ada di Indonesia.
Menurut saya seorang perempuan itu harus balance. Sisi
hedonis dan materialistis perempuan adalah hal yang sudah pasti dan
tidak bisa dipungkiri, maka sebagai seorang perempuan seharusnya mampu
menyeimbangkan hal tersebut. Tidak harus mendirikan LSM atau bagaimana,
cukup dengan hal-hal sederhana saja. Kalau memang ada hal yang dirasa
berguna bisa dibagi dengan society, dengan memberdayakan society maka saya percaya bahwa perempuan telah menyeimbangkan posisinya di masyarakat.
Berbicara mengenai perempuan juga berarti berbicara tentang isu
gender. Kondisinya di Jakarta khususnya dan Indonesia secara umumnya
sampai sekarang equality gender pun belum equal. Apalagi posisi
perempuan di ranah pekerjaan, di bidang apapun, bidang politik, bidang
korporasi, isu gender itu masih saja ada. Entah kenapa kalau perempuan
ambisius itu pasti konotasinya lebih negatif, sementara kalau lelaki
yang ambisius itu adalah hal yang baik. Saya rasa semua kembali ke
masalah prespektif yang sudah telanjur ada di masyarakat.
Saya sempat ditanya kenapa saya harus pindah ke majalah yang lain,
itu di tahun 2009 sekitar 7 tahun yang lalu. Saya bilang bahwa lima
tahun ke depan saya sudah harus menjadi seorang editor in chief.
Tanggapan yang saya dapatkan, loh kok kamu ambisius sekali ujar atasan
saya pada saat itu. Saya bilang bahwa itu bukan ambisius tapi saya punya
rencana. Tetapi kalau lelaki yang bilang seperti itu kemungkinan besar
tanggapannya pasti 'oh itu adalah hal yang bagus sekali'.
Budaya yang ada juga bagi saya menjadi salah satu kendala, di mana culture
kita yang membiasakan bahwa anak perempuan itu ujung-ujungnya harus di
rumah. Tapi menurut saya perempuan itu harus mampu memberdayakan dirinya
sendiri, sebelum dia bisa memberdayakan perempuan lain. Kalau dia sudah
berdaya, otomatis lingkungan sekitarnya pasti berdaya. Kalau membahas
isu gender dari zaman RA Kartini sampai sekarang perempuan di Indonesia
memang masih terus berjuang.
Kedua, kalau saya lihat isu yang sedang kuat adalah konflik antar
agama. Belum lama ini saya diundang oleh istri Duta besar Amerika
Serikat untuk Indonesia, Ibu Sofia Blake, beliau menjelaskan tentang
Sofia Project yang menurut saya sangat wow. Saya merasa project tersebut
sangat hebat, di mana beliau membiayai lima perempuan untuk datang ke
berbagai tempat, salah satunya di Poso, daerah yang menjadi salah satu
wilayah perekrutan ISIS di Indonesia. Ibu Sofia membiayai seorang
perempuan bernama Lian untuk memberdayakan 250 orang perempuan yang
berbeda-beda agama dan latar belakang tanpa ada konflik apapun di
dalamnya. Mereka mampu saling bersahabat dan menurut saya hal tersebut
sangat hebat. Mengingat isu konflik agama di Indonesia termasuk hal yang
sensitif sekali.
Melihat isu konflik agama, kita tahu bahwa dasar negara Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika yang menjunjung tinggi kemajemukan. Bagaimana menurut Anda kaitannya dengan masalah konflik agama tersebut?
Menurut saya mereka itu adalah sekelompok orang dengan rasa bangga
yang berlebihan. Padahal dari awal konsepnya sudah berbeda-beda, entah
mengapa rasanya perbedaan tersebut malah menjadi hal yang sangat berat
di sini. Kalau saya bilang mungkin karena mental orang Indonesia
sendiri, yang mudah sekali tersulut dan disulut. Mudah sekali melihat
perbedaan itu seperti musuh. Mau di manapun, di Papue, di Banten, di
Poso, orang bisa saling membunuh karena isu agama. Belum lagi sekarang
semakin banyak orang yang menjadi provokator.
Kalau terkait isu anak?
Perempuan dan anak adalah dua isu yang paling penting bagi kami. Di
setiap edisi kami pasti memberikan beberapa edukasi terkait kesehatan
dan juga gizi. Belum lagi isu human trafficking yang rasanya itu never ending story.
Marie Claire pernah membuat artikel tentang life after Dolly
dan hasilnya sangat mengenaskan. Karena walaupun Dolly sudah ditutup
tapi tidak menjadi solusi prostitusi berhenti. Sekarang mereka malah
jadi menyebar di mana-mana, menjadi sporadis sampai ada iDolly, ada
Warung Pangku, dan berbagai macam lainnya. Sumbernya ditutup tetapi yang
ada di dalamnya malah makin menyebar dan semakin mengerikan. Seminggu
di sana kami mendapatkan fakta bahwa ada anak kecil yang cukup 1000
rupiah sudah bisa melihat payudara perempuan. Bisnis prostitusi ini
memang mafianya terlalu besar, belum lagi putaran uang yang terbilang
sangat besar di dalamnya. Perempuan kalau sudah masuk di dunia
prostitusi sama seperti terjerat narkoba susah untuk keluarnya lagi.
Satu lagi yang saya concern adalah tentang media sosial
untuk anak, belum lama ini Twitter baru saja menutup salah satu
aplikasinya yang bernama Socialcam. Kenapa? Karena ternyata Socialcam
ini disalahgunakan, banyak dipergunakan untuk memvideokan kegiatan
seksual oleh anak kecil dan mengejutkan karena banyak video yang
memperlihatkan huungan seksual antar sesama. Belum lagi fakta bahwa
platform social media YouTube itu di Indonesia paling besar digunakan
untuk aktivitas seksual.
Saya sangat menyayangkan perkembangan media sosial yang lebih
mengarah ke negatif di Indonesia, belum lagi saya juga punya anak
perempuan, keponakan, kok rasanya tragis sekali. Itu juga yang mendorong
saya untuk membuat artikel mengenai hal tersebut, untuk mengingatkan
para orangtua supaya lebih bijak dalam memanfaatkan teknologi untuk
anak-anak. Penculikan, trafficking, banyak banget di sosial media.
Pelecehan sosial anak saja angkanya makin meningkat karena mereka
menjelajahinya lewat media sosial yang tidak ada batasannya. Di usianya
yang sudah 9 tahun ini, anak saya belum saya berikan handphone, padahal
teman-temannya sudah punya. Kenapa, karena saya tidak bisa memantau 24
jam apa yang dia lakukan di dunia maya sana.
Sementara itu bagaimana dengan isu yang cakupannya lebih global? Hal apa yang paling menjadi perhatian Anda?
Isu mengenai human rights. Saya juga sempat berbincang dengan ibu
duta besar Hungaria, mengingat negara tersebut sedang banyak disorot
karena menutup perbatasan mereka untuk para pengungsi dari Syria,
padahal mereka salah satu negara yang mencetuskan membuka border itu
untuk para pengungsi. Tapi karena begitu masifnya gelombang pengungsi
sampai 200 ribu orang maka sekarang ditutup. Saya sempat menanyakan
bagaimana tentang kondisi pengungsi di sana. Beliau berkata bahwa
Hungaria tidak menutup, tetapi semua pengungsi harus mengikuti prosedur
yang ada. Oun jumlahnya sangat besar loh, mengingat penduduk Hungaria
saja hanya sekitar 10 juta orang. Memang mau tidak mau saya lihat
masalah HAM ini memang harus ada yang mengatur secara jelas. At the end
manusia bukanlah barang, semua mempunyai hak untuk hidup.
Link on Qerja.com
Baca Juga:
No comments:
Post a Comment