Melinda Babyanna: Glamor di Dunia Lifestyle Itu Sekadar Bonus

Article on Qerja.com, Star Leader. Melinda Babyanna
Melinda Babyanna: Glamor di Dunia Lifestyle Itu Sekadar Bonus
by Syahrina Pahlevi

 

Mengawali kariernya di majalah Femina hingga kini menjadi Editor In Chief Marie Claire Indonesia, Melinda Babyanna mengaku bahwa kecintaannya terhadap dunia media massa sudah tidak bisa dipisahkan lagi dari hidupnya. Berbagai asam garam dunia majalah pun ia lalui dengan tegar. Kepada Qerja, ibu dua anak ini berkisah tentang pekerjaan yang ditekuninya dan juga hal-hal yang membuatnya akan terus bertahan di dunia majalah.

Boleh cerita tentang pekerjaan Anda pertama kali?
Saya dulu saat kuliah sempat magang di RCTI, tapi hanya sekitar dua bulan atau tiga bulan saja. Sementara pekerjaan pertama saya waktu itu di majalah Femina. Saya masuk tahun 2001 dan saat itu susah sekali masuk ke Femina. Dari 500 orang yang mendaftar hanya terpilih dua orang saja dan salah satunya saya.

Saya masih ingat harus menjalani tes menggunakan mesin tik dari jam 9 pagi sampai jam 3 sore. Dan Alhamdulillah diterima setelah 7 kali tes. Tugas pertama kali saya adalah mewawancarai salah satu desainer dan saat itu di Femina benar-benar dijeblosin. Saya sempat bertanya, “Mbak, ini saya nggak ditemenin apa gimana dulu?” Jawabannya, “Nggak, udah kamu coba saja interview sana.” Akhirnya saya janjian dan datang ke rumah designer tersebut. Sampai di sana saya ingat sekali saat ditanya kamu siapa, saya bilang saya dari majalah Femina mau interview. Ditanya lagi jabatan saya apa, saya jawab bahwa saya ini fashion beauty reporter. Lalu dia bilang, “Oh gitu, saya nggak mau ah diwawancara sama kamu.”

Akhirnya saya disuruh pulang lagi. Akhirnya saya pulang tetapi saya balik lagi. Saya bilang bahwa saya butuh wawancara dengannya untuk artikel di majalah. Sempat dibilang kenapa saya kekeh sekali, saya pun bertanya bagaimana kalau memang tidak mau diwawancara langsung, saya interview melalui email saja. Akhirnya saya berhasil mewawancarainya, saat ada show selama 10 menit. Saat itu sempat down banget, tapi ya itu sih bagian dari proses. Sampai sekarang dia masih ingat dan kalau kalau ketemu saya dia bilang, wah kamu hebat ya sekarang sudah jadi Editor in Chief.
Di Femina saya belajar banyak, itu juga rasanya yang membuat saya bisa seperti sekarang. Kalau fondasinya saya tidak kuat rasanya karir saya juga tidak akan lama.

Kalau mengenai titik balik Anda dalam berkarir, apa yang membuat Anda yakin terjun di dunia media massa Indonesia?
Kalau bisa dibilang titik baliknya ya pekerjaan pertama saya menjadi reporter. Saya melihat media itu sangat dinamis dan kalau dibilang cinta sama majalah, cinta sekali. Saya merasa ini bukan pekerjaan, sih, tapi a part of my responsibility. Saya menjalaninya as a part of my life. Ibaratnya kayak soulmate sama pekerjaan ini. Dan Alhamdulillah saya punya suami yang supportif sekali mulai sejak saya masuk Femina.

Kami bersama sudah hampir 20 tahun, 9 tahun pacaran dan 11 tahun menikah, jadi dia sudah tahu apa yang saya mau. Saya merasa dengan terjun di majalah saya bisa memiliki tangung jawab terhadap lingkungan saya. Itu juga kenapa di Marie Claire sekarang kami mempunya kampanye bernama Marie Claire Support Local Brand, yang launching bulan Juli kemarin. Kenapa juga saya berinisasi seperti itu, karena kalau saya lihat local brand kita sedang masif sekali, mau di produk fashion, beauty, makanan, apapun. Jadi semua pemotretan yang ada di Marie Claire, nanti ada hashtagnya MC Support Local Brand. Hal yang juga saya aplikasikan kepada diri saya.

Menurut saya perempuan sekarang harus smart, jangan hanya mampu membeli secara impulsif, tapi juga harus tahu siapa yang membuat barang yang dibelinya, behind this brand ada apanya sih. Kenapa brand ini dibuat sebenarnya lebih kepedulianny,a sih. Dan itu yang saya rasakan, kami di media harus mempunyai responsibility di situ. Jadi challenge plus responsibility.

Dunia majalah itu memang dinamis sekali, memang, tapi jangan salah. Anak-anak muda yang belakangan saya temui sekarang banyak yang tidak seperti itu. Anak-anak sekarang itu mereka melihat dunia majalah sebagai dunia yang sangat glamor, apalagi dengan kehadiran media sosial, bisa posting di mana, sedang apa, dan segalanya. Tapi kepada mereka saya selalu bilang kalau saya tipeny, tidak akan memberikan yang manis-manis di depan. Saya butuh pekerja keras, saya butuh orang yang siap dengan challenge, saya butuh orang yang begini begini, apakah kamu orangnya? Saya akan tanya seperti itu. Glamor itu adalah bonusnya.

Kadang ada yang bilang, enak ya traveling pake business class, dapet privilege VIP treatment dan segalanya. Wah saya mendapat ini juga setelah 15 tahun berkarir. Saya juga pernah mengalami penolakan oleh narasumber, pernah juga menjadi asisten saat pemotretan. I came from scratch.
Apa tantangan terbesar yang Anda hadapi di media massa?
Kalau saya melihat hal yang kami kerjakan ini seperti deliver a message. Kami memberikan stimulus, gimana caranya supaya audience merespon. Itu hal yang sangat dasar dalam berkomunikasi, ada stimulus, ada respon. Terlebih di Marie Claire itu kami tidak bisa merespon artikel dari satu pihak aja, misalnya isunya tentang gender equality, kami harus memonitor yang membaca itu feminis atau malah against equality. Kita harus win-win, maka di Marie Claire artikel yang kami buat harus cover both sides. At the end pembaca yang akan menentukan. Oh, ini gue banget, oh ini kayaknya keponakan gue lebih cocok. Tapi kami memperlihatkan bahwa ada fakta-fakta tersebut.

Bagaimana dukungan dari keluarga Anda?
Saya bersyukur sekali memiliki keluarga dan mendapatkan pasangan yang sangat mendukung. Suami saya sangat melihat dan membebaskan kemauan saya. Mengingat dia juga tahu seberapa besar komitmen saya terhadap majalah. Dia juga sangat memahami career path yang sudah saya lalui, dan penting bagi saya mendapatkan dukungan dari suami dan keluarga.

Karena itu juga saat saya memutuskan untuk menerima jabatan apapun, saya bilang kepada suami saya, karena majalah ini berbeda sekali kulturnya dengan majalah tempat saya bekerja sebelumnya. Majalah ini adalah majalah franchise yang adaptasinya gila sekali. Marie Claire itu majalah yang sangat menomorsatukan perempuan untuk berdaya. Pada saat kami belum launching, kami sempat membuat dummy issue, itu word by word mereka cek.

Dan kami terkendala waktu antara Jakarta dengan Paris. Wah, itu bisa nangis berdarah-darah, belum lagi mereka benar-benar ingin bahwa tidak ada kalimat atau isi yang mengintimidasi perempuan. Karena at the end perempuan itu tetap mau sesukses apapun mau sehebat apapun dia adalah perempuan. Yang memang kodratnya adalah untuk menjadi ibu, menjadi anak, teman. Jadi perempuan hebat sendiri itu nggak bisa. Di majalah ini, family issue-nya kuat sekali.

Saat akan launching Marie Claire, sampai setahun Marie Claire itu drama sekali. Tapi saya punya suami yang suportif sekali. Dukungan suami dan orangtua, dukungan anak juga, anak-anak saya juga sekarang jadi mandiri sekali, karena saya sudah kerja dari mereka masih kecil. Jadi tidak hanya sekadar mandiri tapi dia juga melihat ibunya bisa membuat sesuatu.

Tapi tetap harus ada house balance, sampai di rumah diminimalisir sekali pekerjaan kantor. Saya harus bisa membagi waktu supaya mereka tidak kehilangan sosok ibunya.

Bagaimana perasaan Anda saat ditawari menjadi Editor in Chief Marie Claire? Mengingat ini juga merupakan mimpi Anda sejak lama.
Wah excited sekali. Pertama kali ditanya, "Gimana, kamu bisa jadi Editor in Chief Marie Claire?" excited tapi saya bilang boleh tidak saya tanya sama suami saya dan keluarga dulu, karena ini akan menjadi pekerjaan saya bukan dalam waktu yang sebentar, saya tidak mau hanya menjadi keputusan saya saja.

Apa yang mejadi faktor utama saat Anda mencari karyawan?
Pertama karakter, saya percaya kalau karakternya sudah pekerja keras dan mau belajar, sukses pasti bisa diraih. Karena sudah banyak yang saya wawancara lulusan dari berbagai macam universitas tapi saya selalu bilang kira-kira kamu bisa tidak dengan kondisi seperti ini (kerja keras). Banyak juga yang menjawab tidak bisa dan malahan minta hal yang macam-macam. Saya sih sederhana saja melihatnya, mereka belum bisa membuktikan apa-apa tetapi sudah meminta macam-macam. It’s a big no. Karakter itu hal yang terpenting. Tidak perlu terlalu pintar asal dia mau bekerja keras pasti bisa. Saya mencari komitmen, dedikasi, dan kerja kerasnya. 

Kalau atasan yang ideal menurut Anda?
Atasan yang ideal itu adalah atasan yang supportif dan akomodatif. Saya pernah punya atasan yang juga mentor saya, Mbak Petty Fatimah, beliau sangat supportif sekali dan bisa mengakomodasi anak buahnya untuk ke jenjang yang lebih tinggi dan itu yang saya juga aplikasikan.

Karena saya merasa kalau mereka dibiarkan saja tanpa career path yang jelas, mereka tidak akan menjadi apa-apa. Dapat gaji tapi buang-buang waktu. Saya selalu bilang sama tim saya kamu mau jadi apa lima tahun ke depan? Ada yang jawab saya mau jadi fashion director, Mbak. Oh, oke saya siapkan ya kamu untuk menjadi fashion director.

Saya ini bisa hebat bukan karena diri saya sendiri, tetapi karena tim saya. Saya hanya seperti supervisor untuk majalah ini. Tanpa mereka saya ini bukan apa-apa.

Dan saya sangat suka dengan orang yang mempunyai ambisi, karena ambisi itu bagus untuk bahan bakar awal. Jadi kalau dengan tim yang bilang tidak tahu maunya jadi apa, biasanya saya kasih tenggat waktu kepada mereka untuk memberitahukan kepada saya mau jadi apa. Saya tidak ingin mereka tidak menjadi apa-apa.

Walaupun dia hanya sekadar anak magang, kalau dia bilang kepada saya ingin bisa memproduksi satu fashion spread, saya akan bilang pada seniornya untuk menjadi mentor dia. Bimbing dia sampai mampu membantu kamu bukan hanya sekadar mengambil dan mengembalikan barang. Bagi saya itu sia-sia saja. Buat apa magang 3 bulan hanya minjam barang, sekolahnya udah mahal-mahal maka dia harus produksi satu fashion spread.

Dan saya sangat senang membagi ilmu, walau dia nggak langsung di bawah saya. Kepada anak event, anak marketing saya akan tanya apa yang bisa saya bantu.

Saya ingin mereka semua masuk di industri ini tidak hanya sekadar menjadi pegawai saya, you have to be able to make something that will make you proud of it. Jadi mereka juga bisa berdaya.

Apakah Anda pernah melakukan satu kesalahan saat berkarir?
Agak struggling memang kalau kita bekerja dengan teman sendiri dan kejadiannya saya pernah merekrut teman saya. Yang ada malahan jadi serba salah ya, apalagi kebetulan dia ada di tim saya. Walaupun saya tidak memprioritaskan dia, tetapi semua berpikirnya bahwa saya pasti memprioritaskannya karena di teman saya. Padahal saya selalu berusaha adil. Mulai sekarang juga saya merekrut tim yang tidak ada hubungan pertemanan sama sekali. Karena nanti dua-duanya menjadi serba salah.

Kalau achievement yang pernah Anda dapatkan?
Saya sempat bisa wawancara ibu Ani Yudhoyono. Saya juga bisa menjadi Editor in Chief. Bagi saya itu juga achievement karena tidak mudah mencapainya. 

Hal yang membuat Anda bangga dengan pekerjaan Anda sekarang?
Saya senang kalau bisa melihat anak-anak tim saya menjadi hebat. Beberapa anggota tim saya saya sekarang sudah ditarik di majalah lain, ada yang menjadi managing editor, deputy editor, dan jabatan lainnya. Saya bangga sekali saat saya bisa memiliki anak-anak hebat hasil didikan di Marie Claire.

Link on Qerja.com

Baca Juga:

No comments:

Post a Comment